Lihat ke Halaman Asli

Taufan Satyadharma

Pencari makna

"Muputi" Diri

Diperbarui: 3 Juni 2021   17:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto oleh @pieu_kamprettu

Majelis Wirid dan Sholawat Maneges Qudroh mendapat permintaan undangan untuk membersamai acara Muputi atas kelahiran putra Bapak Khamim Yulianto yang bertempat tinggal di Dusun Pletukan, Sidoagung, Tempuran.

Muputi sendiri merupakan sebuah tradisi memotong rambut ketika tali pusar Sang Bayi putus. Muputi juga sering disebut puputan dalam budaya Jawa. Acara ini biasanya diselenggarakan seperti acara kenduri sebagai bentuk permohonan doa kepada Allah Swt, agar sang bayi selalu terberkahi, serta diberikan keselamatan dan kesehatan.

Setelah pembacaan wirid Munajat Maiyah, Sang Bayi dikeluarkan pada saat Indal Qiyam. Pak Eko mewakili dulur-dulur MQ secara khusus memberikan doa dan memotong sebagian rambut Sang Bayi yang diberi nama Altaf Helmi Yulianto. Setelah itu, Sang Bayi pun diajak berkeliling sembari diiringi sholawatan dari dulur-dulur yang hadir.

Dalam rutinitas ini, tidak ada niatan lain kecuali menggiatkan agenda wirid dan sholawat sebagai salah satu bentuk upaya secara kolektif dalam mewujudkan cinta kepada Allah Swt dan kekasih-Nya, mendoakan guru-guru, para leluhur, dan orang terkasih kita. Dan #MQSelasan selalu diperjalankan membersamai siapa saja yang ingin dibersamai.

Kelahiran seolah mengingatkan tentang keadaan fitrah. Ironisnya, semakin dewasa dan seiring bertambahnya ilmu, kita seolah dituntut untuk mengerti atau memahami beda antara keinginan dan kebutuhan, namun nyatanya kita justru semakin menjauh dari keadaan fitrah tersebut. Atau jangan-jangan yang dirasa telah memahami, kita sama sekali tidak pernah mempelajarinya sama sekali, sehingga semua nampak menjadi sebuah pemakluman.

Dengan rutinitas #MQSelasan ini --yang bertolakbelakang dengan kebiasaan budaya modern--- jika dirasakan seperti memberi stimulan untuk memahami beda antara keinginan dan kebutuhan. Apa yang selama ini terlihat menjadi sebuah kebutuhan, ternyata bisa jadi itu menjadi sebuah keinginan. Dan yang dianggap keinginan, bisa jadi itu godaan hasrat sekejap. Setidaknya kebiasaan ini sedikit menyadarkan bahwa kebiasaan yang selama ini kita habiskan waktunya adalah membangun megah sebuah bangunan dengan pondasi keinginan, bukan kebutuhan.

Kalau benar demikian, berarti ada kemungkinan kita juga masih bayi. Maka kita juga ada kemungkinan butuh dipuputi, yakni memotong tali pusar kesembronoan penilaian atau keangkuhan yang tersembunyi di relung hati, yang kian memanjang secara tak sadar. Tapi sekali lagi, hal ini bukanlah sebuah cara pandang mengenai sebuah kesalahan ataupun kebenaran. Apabila yang didapati kebenaran, semoga rasa syukur akan bertambah. Namun apabila kesalahan yang didapati, tentu kita mesti bersegera memohon ampunan dan memperbaiki apa yang telah dirusaknya.

"Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa," (3:133)

Di sisi lain, pandangan tentang seorang bayi juga memberikan makna atas kefitrahannya bahwa dirinya belum memiliki tanggung jawab apapun untuk menanggung suatu kesalahan. Seorang bayi belum bisa memahami bahwa apa yang dilakukannya sekarang adalah sesuatu yang berpotensi merusak atau menghancurkan. Dalam wirid dan sholawat, seolah-olah kita selalu diajarkan untuk menghitung diri dan segera memohon ampun kepada Allah, kecuali kalau kita sudah merasa dewasa dan secara sadar atau tidak sadar belum memahami dengan cara apa waktunya banyak disia-siakan.

Meskipun kegiatan ini dilakukan selama seminggu sekali, tetap saja untuk bisa menjaganya butuh upaya. Dan ini tidak mudah karena selalu saja bisa dicari pembenaran-pembenaran atas ajakan kebaikan yang dilakukan secara bersama-sama. Hal ini semacam menjadi perjuangan tersendiri di waktu-waktu yang menyibukkan. Tapi, setelah anjuran untuk memohon ampun, Allah Swt berfirman,

"(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan." (3:134)

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline