Lihat ke Halaman Asli

Menjadi Manusia yang Indah

Diperbarui: 12 Agustus 2015   05:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Saksi mata itu datang tanpa mata.

Pernah dengar kalimat itu? Tidak....??  Ya, sudah tidak apa-apa. Sebentar lagi  juga tahu.

Menurutku kalimat itu dahsyat. Tak bisa hilang dari ingatanku. Padahal kalimat itu kubaca di kumpulan cerpen "Saksi Mata", karya Seno Gumira Ajidarma [SGA], salah satu cerpenis terbaik negeri ini, lebih dari 10 tahun yang lalu.

Saya selalu bertanya dari manakah ia menemukan kalimat itu? Karena kemudian itu menjadi awal dari sebuah cerpen yang menggambarkan dengan begitu baik keadaan di negeri ini bertahun lewat. Tidak boleh melihat, berbicara dan memberi kesaksian.

Penasaran? Ini sedikit dari cerpen itu:

"Saudara Saksi Mata."
"Saya, Pak."
"Di manakah mata saudara?"
"Diambil orang, Pak."
"Diambil?"
"Saya, Pak."
""Maksudnya dioperasi?"
"Bukan, Pak. Diambil pakai sendok."

 

 

 

 Nah, kan. Kubilang dahsyat [jangan menggeleng, itu melukai hatiku.... hatciiii... bersin deh...]

Sesungguhnya bukan cerpen itu yang ingin saya bagi sebagai sebuah pengalaman. Saya tengah membaca kumpulan cerpen itu ketika tanpa segaja bertemu SGA di Bandara Hasanuddin saat  mengantar kepergian seorang teman... [entah kenapa dulu saya selalu kebagian peran sebagai pengantar, kalau tidak ke bandara ya ke pelabuhan. Lalu saya pun ditinggal.....  Jangan menangis untukku. Dulu pun saya tak menangis...sok banget akyu ini... seolah-olah ada yang akan prihatin]

Mulanya saya ragu mendekati SGA. Sebenarnya saya memang selalu ragu untuk memulai berbincang  dengan seseorang yang baru kutemui. PDku  akan sukses meluncur ke titik nol. Tapi kesadaran bahwa saya tidak akan memiliki kesempatan yang sama, selalu menjadi pemicu yang bagus untuk memompa keberanian. Dia penulis yang tak akan kulewatkan karyanya, apalagi kesempatan untuk berbincang. Maka kukerahkan seluruh keberanian yang tak pernah benar-benar kumiliki, lalu mendekatinya.

Thanks God, dia luar biasa baik. Dia berbincang seolah mengenalku 100 tahun yang lalu [ga usah dibaca ulang. Saya benar-benar menulis angka seratus]. Itu alasan yang bagus untuk berdoa kepada Tuhan, semoga keberangkatan pesawatnya tertunda. Dan ketika benar-benar ditunda, saya nyaris bersorak girang. Dua jam. Waktu yang cukup untuk “mencuri’ ilmunya.

Begitulah. Dia berbicara banyak dan saya menyerapnya seperti kerakusan sebuah spons kering yang baru bertemu air. Sampai kemudian saya mendapatkan keberanian untuk bertanya, “Mas, kalimat-kalimat hebat yang dituangkan di cerpen itu, dapatnya dari mana?”

Dia berkata dengan senyum. “Lihat sekeliling kita. Serap semua keindahan yang ada. Jadikan hati dan pikiran serta keseluruhan tubuh kita sebagai sebuah keindahan. Karena dari sebuah keindahan mustahil  keluar hal-hal yang buruk.”

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline