Lihat ke Halaman Asli

wien tanpa oo

keluarga adalah koentji

Anak Jengkol di Tanah Emas

Diperbarui: 26 Maret 2017   03:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dokpri

Guyuran air hujan semenjak siang tak menandakan akan berhenti, sementara kedatangan saya di rumah papan berukuran 3,5 m x 6 disambut dengan senyum bahagia oleh penghuninya. Perempuan yang tidak lulus dari bangku SD menemani saya dan satu teman untuk ngobrol. Perempuan berambut panjang usia 35 an tahun beserta anak usia 5 tahun pun keluar dari dapur dengan membawakan air putih.

“Maaf mba dan mas, adanya hanya air putih silahkan diminum,” ujar ibu Tun perempuan kelahiran desa Cileuksa Sukajaya Bogor.

Ya, sore itu saya bersama satu teman datang kerumah untuk ngobrol, diskusi dan berbagi informasi tentang aktifitas yang dilakukan oleh keluarga.  Kehadiran saya tidak lain atas nama KAMUKA (Perkumpulan Kaum Muda Merdeka) yang berada di Jakarta, KAMUKA bekerjasama dengan sebuah NGO GNI (Gugah Nurani Indonesia) selama bulan Maret 2017 melakukan penelitian tentang situasi pendidikan, kesehatan, dan perekonomian yang ada di 3 tempat Desa Cileuksa (Bogor), Enrekang dan Deli Serdang. Penelitian yang dilakukan tidak lain melihat keadaan dengan gamblang  tentang situasi tersebut yang dihadapi oleh anggota rumah tangga maupun anak. Tidak lain agar apa yang saya lakukan bersama teman-teman dapat direspon untuk program yang berkelanjutan. Dan saya mendapat kesempatan untuk melakukan penelitian di desa Cileuksa, kecamatan Sukajaya kabupaten Bogor.

Obrolan ringan dengan logat sunda mengalir begitu saja, walaupun saya harus memastikan obrolan tersebut kepada teman yang paham bahasa sunda. Ibu Tun panggilan arabnya menceritakan tentang suaminya yang belum pulang dari bekerja mencari tanah yang memiliki kadar emas dibawah kaki gunung halimun.

“Kalau pas cuacanya baik, biasanya berangkat pagi sore sudah pulang dengan membawa dua karung berisi tanah yang akan diolah hingga menjadi butiran emas, namun jika tanah yang dicari susah bisa menginap 2-3 hari dibukit tersebut,” terangnya.

Ya, selama 3 minggu kurang saya bersama teman-teman berada di desa Cileuksa, kecamatan Sukajaya kabupaten Bogor. Desa yang berada di 925 mdpl memiliki 14 kampung berada di tiga lokasi atas, tengah dna bawah. Secara keseluruhan terdapat 2694 kepala keluarga dan jumlah penduduk 7968 jiwa.  Desa Cileuksa merupakan desa terakhir di kabupaten Bogor, berbatasan langsung dengan kabupaten Banten. Secara umum pekerjaan  masyarakat  adalah buruh kayu, buruh tani, buruh tambang, ojek dan dagang. Dengan penghasilan antara Rp.30.000 – Rp. 70.000 per hari.

Gambaran diatas adalah gambaran masyarakat di desa Cileuksa. Dan jawaban ibu Tun tentunya memberikan tambahan jawaban kepada saya dan teman-teman selain mencari informasi dari berbagai pihak. Seperti apa yang dilakukan oleh kepala keluarga dalam menghidupi anggota keluarganya. Ibu Tun yang harus mengurus dua anaknya, satu putus SMP  masih menunggu biaya karena akan masuk ke pondok pesantren dan yang satu TK.  

Ketika obrolan semakin terbuka, salah satu anak ibu Tun, Ri (5 tahun) merengek meminta uang kepada ibunya untuk membeli makanan di warung bawah. Harga makanan hanya 500 atau 1000 rupiah, namun karena ibu Tun sedang tidak memiliki, Ri disarankan untuk makan saja.  “Nanti ya Ri, nunggu bapak pulang, semoga sore ini bapak mendapatkan uang hasil dari bekerja. Makan nasi sama lauk jengkol saja,” ujar ibu Tun.

ilustrasi foto rendang jengkol, untuk makanan biasnaya jengkol setelah direbus kemudian digoreng dan dipotong kecil-kecil. (ft.wien)

Akhirnya Ri pun menuju dapur dan mengambil jengkol yang sudah digoreng dan dipotong kecil-kecil dan memakanya dengan lahap. Menurut ibu Tun, jengkol sebagai pengganti makanan kalau sedang tidak memiliki uang. Dan jengkol di kampung tengah ini mudah didapat, dikarenakan banyak masyarakat yang menanam  jengkol. Ya, itulah gambaran satu dari bagian masyarakat yang ada di Cileuksa. Masih ada anak-anak dipaksa atau terpaksa memakan jengkol pengganti cemilan. Dan ternyata pemandangan itu bukan saja di satu tempat di banyak tempat pun jika memang tidak memiliki uang jengkol menjadi satu-satunya lauk atau pengganti makanan.

Mengharapkan hasil dari penggali tanah emas, yang konon jika  mendapatkan tanah yang banyak serat emasnya maka uangpun bisa didapat. Namun jika yang didapat serat emasnya sedikit hasilnya pun akan lebih sedikit. Para pencari emas dikaki gunung halimun datang pagi pulang sore, bahkan ada yang menginap, salah satu aktifitas warga di Desa Cileuksa yang paling diminati. Kegiatan tambah emas itu masih terus dilakukan. Bahkan gilingan-gilingan mesin pencacah batu emas itu pun dapat dilihat di antara jalan kampung.

Di Desa Cileuksa terdapat lebih dari 4 pemilik pengolahan emas yang emmiliki pekerja. Rata-rata pembelah batu dilakukan oleh ibu-ibu, satu karung dihargai Rp. 20.000, untuk penggali tanah berserat emas dihargai antara Rp. 60.000 – Rp. 100.000. Kegiatan ini terus dilakukan, bahkan disetiap kampung banyak pemilik mesin pencacah batu emas pribadi tanpa pekerja. Biasanya hasil yang didapat jika dikumpulkan dalam satu minggu jika dirupiahkan anatra Rp. 200.00 – Rp. 350.000 tergantung hasil sepuhan emas tersebut. Hasil tersebut  sebenarnya tidak sesuai dengan aktifitas yang dilakukan setiap harinya, pengeluaran dan pendapatan sama. Namun karena sudah menjadi kebiasaan aktifitas tersebut tetap dilakukan.

Sayangya, jika tidak ada tanah emas yang dibawa atau yang dihasilkan, maka keluarga yang ada dirumah akan memasakan seperti hari-hari biasa, menu wajib sayur ketela, ikan asin dan jengkol. “Mau masak apa lagi, adanya ikan asin dan jengkol. Makanan ini pasti selalu ada,” pungkas Tun mengakhiri obrolanya.(wien)




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline