Lihat ke Halaman Asli

Imam Tamaim

Writer. Editor. I Live in Jakarta.

Idealisme Pendidikan di Belantara Kebun Sawit

Diperbarui: 18 Juni 2015   04:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14072321741892842447

Malam telah larut, namun hujan masih berderai. Sempat lebat beberapa saat, hingga akhirnya berhenti lamat-lamat. Kami agak khawatir, sebab esok jalanan yang akan kami tempuh ke lokasi kunjungan berkilo-kilo meter panjangnya, dan tidak semua beraspal. Beberapa bagian berlapis batu koral, beberapa bagian lagi hanya berupa timbunan tanah.

Tapi rupanya keberuntungan berpihak pada kami. Hujan yang lumayan lebat semalam tak sempat membuat jalan-jalan tanpa aspal berubah menjadi kubangan. Bahkan air hujan menolong kami karena membuat debu jalanan yang biasanya beterbangan kali ini tidak lagi. Kami pun bisa melalui jalan-jalan di belantara perkebunan kelapa sawit dengan relatif nyaman.

Sepeda motor yang kami tumpangi sesekali memang sempat oleng karena harus menerabas genangan, tapi itu bukan tantangan berarti. Bahkan, sempat pula roda depannya kempis terantuk ujung batu yang runcing. Toh, masih bisa kami atasi.

[caption id="attachment_317938" align="aligncenter" width="420" caption="Jalan menuju lokasi"][/caption]

Tujuan kami adalah desa Teluk Panji IV, Kampung Rakyat. Sebuah perkampungan transmigran yang terletak di tengah belantara perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Labuhan Batu Selatan, Sumatera Utara. Kami mengunjungi sebuah sekolah yang berada di bawah Yayasan Al-Hidayah, sebuah wakaf masyarakat setempat.

Tujuan utama kunjungan kami pada medio Juli 2014 itu untuk melakukan riset penerima manfaat pada Teacher Competency Development Program (TCDP) yang diselenggarakan Djalaluddin Pane Foundation (DPF) dimana sekolah tersebut menjadi salah satu pesertanya.

Pendidikan Karakter itu Ada di Tengah Belantara

Dari penginapan kami di Cikampak, Labuhan Batu Selatan, saya diantar seorang warga merangkap relawan, Syarifuddin namanya. Rekan saya, Joko, juga diantar relawan lain. Kami menyusuri medan berat lahan perkebunan dengan dua ‘kereta’, sebutan warga setempat bagi sepeda motor.

Lumayan menegangkan perjalanannya, terutama bagi saya yang baru pertama kali memasuki perkebunan kelapa sawit. Dalam perjalanan sejauh kira-kira 35 kilometer itu sempat muncul pikiran, kok ada orang yang mau tinggal di tengah hutan macam ini. Janganlah membayangkan minimarket, sekadar warung kecil pun sukar dijumpai.

Sejauh mata memandang yang ada hanyalah deretan pohon penghasil minyak goreng itu saja. Itulah yang membuat perjalanan lebih dari dua jam itu lama-lama menjenuhkan. Berkali-kali saya bertanya pada Syarifuddin, sang joki, “Apakah sudah dekat?” Jawabnya hanya geleng kepala, karena dia juga tak tahu pasti lokasinya. Sementara Joko dan relawan lain yang tahu persis lokasi sudah melesat jauh di depan. Dia cuma pesan lawat sms agar kami jalan lurus saja, jangan berbelok ke mana pun juga.

Sampailah pula kami di lokasi yang dituju. Sekolah Al-Hidayah Teluk Panji IV. Sekolah yang terpencil, jauh dari pusat kota. Bangunan sekolahnya masih amat sederhana, meski sebagian sudah dibangun dengan batu bata, namun sebagian lagi bertembok papan kayu. Beberapa bagian temboknya telah retak-retak karena memang lahan yang digunakan tergolong labil, maklum lahan gambut.

Kedatangan kami di sambut ramah para pengajar di sekolah tersebut. Tampak pula oleh kami, Lasiono, sang kepala sekolah yang tengah sibuk menerima panggilan telepon. Dari pembicaraan yang kami dengar rupanya dia menerima telepon dari salah seorang wali murid yang anaknya bermasalah. Alot juga rupanya diskusi di telepon itu, sehingga kami harus menunggu cukup lama untuk bersapa dengannya.

[caption id="attachment_317939" align="aligncenter" width="420" caption="Lasiono, Kepala Sekolah Al-Hidayah Teluk Panji"]

14072322861783465539

[/caption]

Usai bertelepon Lasiono menyapa kami, dan langsung saja membuka obrolan.

“Beginilah sekolah kami, baru saja saya terima telepon dari orangtua yang tidak terima anaknya tak naik kelas,” ujar Lasiono saat di temui di Teluk Panji (17/7/2014).

Dia menjelaskan, meski hanya sekolah swasta yang secara fisik mungkin tidak sebaik sekolah lain di wilayahnya, dia tidak mau main-main dengan nilai-nilai pendidikan. Meskipun, risikonya ada saja siswa yang akhirnya keluar atau pindah sekolah. Padahal bukan hal mudah mencari siswa di tempat terpencil macam kampung Teluk Panji itu, terbukti tiap angkatan jumlah siswanya hanya puluhan saja.

“Kalau memang harus tidak naik, ya tidak naik, meskipun keputusan seperti ini sudah tidak populer lagi di sekolah lain,” tegasnya.

Lasiono berharap dari sekolah di tempat terpencil itu lahir generasi-generasi yang tidak sekadar mementingkan angka-angka nilai di rapot tetapi lebih dari itu mementingkan nilai moral dan akhlak.

Sebagai pendidik, dia getol menekankan nilai moral dan karakter, oleh karena itu dirinya tak segan menegur anak-anak di sekitar kampungnya jika melakukan kesalahan. Siapa saja, di mana saja.

“Kalau saya, bukan anak didik sekolah ini pun saya tegur, sebab kalau kita tidak peduli dengan mereka, anak-anak kita juga akan terkena dampaknya,” paparnya.

Lasiono juga menekankan sikap seperti itu kepada para tenaga pendidik lain. Walhasil meski lokasi sekolahnya di tempat terpencil, siswa-siswi di sekolah ini lumayan berprestasi. Tak jarang mereka menyabet juara di tingkat kabupaten, seperti dalam Olimpiade IPA atau kejuaraan-kejuaraan pengembangan seni dan bakat siswa.

Saat ini, meski jaringan internet jauh dari memadai, sekolah ini bertekad mengupayakan sebisa mungkin pengajaran dengan teknologi informasi dan komunikasi (TIK). Para tenaga pengajar mengakui, TIK terutama internet sangat membantu pengayaan bahan ajar. Sekolah mereka jauh kemana-mana, tapi dengan internet banyak informasi yang bisa kami dapat.

“Sayangnya, jaringan telepon kami di sini byar-pet,” kelakar Lasiono.

[caption id="attachment_317941" align="aligncenter" width="420" caption="Sekolah Al-hidayah Teluk Panji, tampak depan"]

14072325361185882757

[/caption]

[caption id="attachment_317942" align="aligncenter" width="420" caption="Lapangan yang luas"]

1407232690947333578

[/caption]

Sekolah Al-Hidayah berdiri tahun 1998, menyelenggarakan pendidikan dari tingkan Madrasah Ibtidaiyah (MI) Madrasah Tsanawiyah (MTs) hingga Madrasah Aliyah (MA). Saat ini sekolah yang ditopang dana swadaya masyarakat ini masih kekurangan ruang kelas, dan beberapa fasilitas pendukung seperti laboratorium komputer dan sebagainya.

Begitulah sekelumit perjalanan kami ke sebuah sekolah di kawasan terpencil di Sumatera Utara. Meski kami masih harus berjuang menuju pulang. Membelah ratusan hektare kebun sawit. Namun setidaknya keletihan kami terbayar oleh geliat semangat para guru di sekolah Al-Hidayah yang terus menegakkan idealisme dalam pendidikan di tempat nun jauh dan sunyi itu.

(Imam Tamaim, jurnalis di www.djalaluddinpane.org lembaga nirlaba yang fokus pada masalah pendidikan khususnya pengembangan TIK dan nurani ihsani)




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline