Lihat ke Halaman Asli

Kontroversi dan Rekonsiliasi Cadar

Diperbarui: 13 Maret 2018   10:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ByHusein Ja'far Al Hadar

Pekan ini, publik kita diramaikan oleh kontroversi aturan tak boleh memakai cadar di lingkungan Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta. Alasannya, pertama, cadar membuat mahasiswi tak bisa diidentifikasi dan mengganggu komunikasi dosen dan mahasiswi dalam proses belajar mengajar. Kedua, ditengarai cadar lebih bernuansa ideologis (radikal) ketimbang fikih. Karena itu, mereka yang bercadar akan dibina oleh pihak kampus.

Tentu, ada yang pro, ada pula yang kontra. Yang pro, setuju dengan alasan itu. Sedangkan yang kontra menilai aturan itu melanggar hak wanita untuk memilih pakaiannya sendiri, melanggar kebebasan wanita dalam beribadah sesuai keyakinannya dalam tafsir keberagamannya yang menilai cadar sebagai sesuatu yang wajib atau minimal perlu bagi seorang wanita Muslim. Adapun mengenai identifikasi dan komunikasi, itu masalah teknis yang bisa diselesaikan secara lebih elegan.

Pada dasarnya, cadar itu bebas nilai. Sehingga, tak perlu dihukumi. Karena itu, jika ada kecenderungan ideologis pada oknum pemakainya, yang perlu ditindak adalah tindakan ideologisnya yang tak tepat atau berbahaya, bukan cadarnya. Ketimbang melarangnya, apalagi dilakukan lembaga pendidikan, lebih baik mendidiknya saja agar cadar itu dilepas dengan kesadaran, bukan keterpaksaan.

Terlepas dari pedebatan itu, menarik membincang Islam dan budaya dalam konteks cadar.

Islam tak hadir untuk mengeliminasi apapun, kecuali kemunkaran. Bahkan, terhadap agama lain yang hadir sebelumnya, yakni Yahudi dan Kristen. Islam bersifat menyempurnakannya. Beberapa doktrin dan ritual Islam bisa ditemui jejaknya di Yahudi dan Kristen. Termasuk pemakaian cadar yang jejaknya ada di Yahudi.

Apalagi pada selain agama, misalnya budaya. Yang diperangi Nabi Muhammad adalah ke-jahiliyah-an tradisi Arab saat itu. Adapun budaya positifnya, justru dilestarikan dengan disempurnakan oleh muatan nilai-nilai Islam. Paradigma Nabi itulah yang kemudian dipegang teguh oleh pendakwah Islam pertama di Nusantara: toleran pada agama lain, akulturatif terhadap budaya Nusantara, serta terbuka terhadap berbagai nilai kebaikan dari manapun datangnya (meskipun dari mulut seorang munafik, kata Sayyidina Ali bin Abu Thalib).

Maka, dalam semangat Islam yang berkebudayaan Nusantara, dalam konteks cadar, justru lebih konkrit, mendasar, dan tak dicurigai jika dikembangkan sebuah upaya untuk melihat cadar dalam konteks relasi Islam sebagai agama dan Indonesia sebagai budaya. Karena memang budaya memiliki ruang besar dalam pertimbangan hukum (fikih).

Cadar tentu bukan budaya kita. Oleh karena itu, jika ia tak masalah di Arab lantaran memang ada basis budayanya, berbeda dengan Indonesia.

Secara doktrin, hukum cadar masih sangat terbuka untuk diperdebatkan. Secara fikih saja, ia masih bisa diperdebatkan lantaran mayoritas ulama tak menganggapnya sebagai kewajiban. Dalam artian, wajah wanita Muslim bukanlah aurat.

Di sisi lain, ada budaya Indonesia yang tak memiliki jejak cadar. Maka, yang sebenarnya signifikan adalah kajian fikih yang disintesakan dengan budaya terkait cadar sehingga bisa melahirkan formulasi hukum yang menjadikan wanita Muslim bisa memahami mengapa tak sepatutnya cadar dipergunakan oleh wanita Muslim Indonesia. Itulah sebenarnya yang lebih strategis dan efektif untuk dilakukan organisasi masyarakat Islam maupun lembaga pendidikan Islam.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline