Gotong Royong di Pesantren: Nilai Luhur yang Perlu Diletakkan Secara Proporsional
Gotong royong, memiliki posisi penting dalam budaya Indonesia dan sejak lama menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan pesantren. Santri terbiasa dilibatkan dalam berbagai kegiatan seperti membersihkan lingkungan, menata halaman, membangun fasilitas sederhana, hingga ikut membantu perawatan bangunan. Aktivitas semacam ini hampir selalu dipandang positif. Selain memperkuat solidaritas, ia juga menumbuhkan kemandirian dan mematangkan tanggung jawab sosial.
Namun, ketika tradisi ini dibawa ke ranah pekerjaan teknis yang berisiko tinggi seperti pembangunan bertingkat muncul persoalan serius terkait keselamatan dan kelayakan etis. Tragedi runtuhnya Musala Al Khoziny di Sidoarjo menjadi bukti nyata bagaimana kegiatan mengecor di pesantren yang semula dianggap sebagai bentuk kebersamaan, justru berubah menjadi titik tragedi.
Seorang wali santri menuturkan bahwa dalam proses pengecoran, sejumlah santri turut diminta untuk mengangkut material bangunan. Mereka melaksanakan tugas tersebut tanpa keahlian teknis, tanpa pemahaman konstruksi, bahkan tanpa perlengkapan keselamatan dasar. Situasi ini mengubah makna kerja bakti yang mulanya bernilai luhur menjadi ancaman nyata bagi keselamatan. Nilai pendidikan karakter yang semestinya tumbuh dari tradisi gotong royong seakan tereduksi oleh risiko yang ditanggung para santri.
Pergeseran makna ini menimbulkan dilema. Di satu sisi, kerja bakti memang memiliki nilai edukatif yang tidak bisa dipungkiri. Melalui kegiatan tersebut, santri belajar tentang disiplin, kebersamaan, dan perjuangan. Mereka merasakan bahwa hidup di pesantren bukan hanya menekuni dengan teks kitab, tetapi juga melibatkan tanggung jawab sosial dalam membangun dan merawat fasilitas bersama. Gotong royong membentuk mental kerja keras, rasa peduli, serta kebersamaan yang menjadi identitas pesantren.
Namun, di sisi lain, nilai positif itu tidak boleh memungkiri batas kewajaran. Pekerjaan konstruksi, terutama yang menyangkut pengecoran atau pembangunan bertingkat, jelas memerlukan tenaga profesional. Ada standar keselamatan yang harus ditaati, ada teknik yang hanya bisa dipahami oleh pekerja berpengalaman. Memaksa santri untuk masuk ke wilayah kerja berbahaya bukan hanya melanggar prinsip keselamatan, tetapi juga menempatkan mereka pada risiko yang tidak seharusnya ditanggung.
Dalam perspektif Islam, menjaga nyawa (hifdzun nafs) merupakan salah satu tujuan pokok syariat. Rasulullah SAW menegaskan bahwa seorang pemimpin bertanggung jawab atas keselamatan orang-orang yang berada di bawah pengawasannya. Dengan demikian, melibatkan santri dalam pekerjaan berisiko tinggi tanpa perlindungan yang memadai dapat dianggap sebagai bentuk kelalaian moral. Pesantren seharusnya menjadi ruang aman bagi pendidikan agama dan pembentukan karakter, bukan tempat yang menimbulkan bahaya karena abai terhadap keselamatan.
Selain persoalan moral, aspek hukum juga perlu diperhatikan. Regulasi ketenagakerjaan dan aturan tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) mengatur secara jelas standar minimum bagi pekerja di sektor konstruksi. Santri bukanlah pekerja formal, mereka masih pelajar. Melibatkan mereka dalam pekerjaan berisiko tinggi bisa menyalahi aturan yang berlaku. Tragedi yang terjadi di Sidoarjo menjadi pengingat keras bahwa aspek hukum dan keselamatan tidak bisa ditawar dengan alasan tradisi.
Meski demikian, gotong royong tidak harus dihapus dari pesantren. Nilai solidaritas yang terkandung di dalamnya masih sangat relevan dan penting. Yang perlu dilakukan adalah penyesuaian. Santri tetap bisa dilibatkan dalam kerja bakti, tetapi hanya pada aspek yang aman, misalnya menyiapkan konsumsi, membersihkan lingkungan, mengatur logistik, atau mendukung kegiatan sosial. Sementara itu, pekerjaan teknis seperti pengecoran dan pemasangan struktur bangunan harus sepenuhnya diserahkan kepada tenaga ahli yang memiliki keahlian dan sertifikasi.