Lihat ke Halaman Asli

Syarif Yunus

Dosen - Penulis - Pegiat Literasi - Konsultan

Makan Tuh Gengsi!

Diperbarui: 21 Februari 2023   10:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: TBM Lentera Pustaka

Di dunia ini, tidak sedikit orang yang terjebak hidup demi gengsi. Mengejar gengsi. Karena standar hidup dan status sosial dianggap tumpuannya ketika orang lain kagum pada dirinya. Ingin dipuji dan bangga dijadikan bahan omongan. Bergaya hidup demi gengsi. Gengsi sering dicari orang. Kataya, gengsi identik dengan kehormatan. Katanya pula, gengsi jadi acuan martabat seseorang. Biar tampak keren di mata orang lain. Gengsi pula yang bikin seseorang punya eksistensi. Gengsinya cetar membahana. Hanya ingin menuruti perkataan orang lain. Biar dibilang mentereng sama orang lain. Makan tuh gengsi!

Terus bila sudah bergengsi, apa pasti terhormat? Belum tentu dong. Karena gengsi memang bukan harga diri. Gengsi itu basisnya gila kehormatan. Mabuk popularitas. Berbeda dengan harga diri yang basisnya sadar diri, berani bersahabat dengan realitas. Gengsi nggak bisa bikin orang punya harga diri. Tapi sebaliknya, siapapun yang punya harga diri pasti gengsi melekat dengan sendirinya. Jadi, jangan korbankan harga diri demi gengsi. 

 

Terlalu mengejar gengsi, apalagi di media sosial. Umur sudah tua tapi bergaya biar seperti anak muda. Hidup pas-pasan gayanya seperti banyak uang. Ngomong paling sosial tapi jarang hadir di acara bakti sosial. Teriak-teriak rajin amal tapi nyatanya jarang sedekah. Tidak pernah membaca buku bilangnya paling rajin baca. Kamuflase semuanya demi gengsi. Memang benar, gengsi itu menyesatkan.

Beruntung banget saya dan teman-teman yang hidup tanpa gengsi. Terlepas dari profesi dan pekerjaan sebagai apa, tapi masih bisa jadi driver motor baca keliling di Taman Bacaan Lentera Pustaka. Keliling kampung tiap hari Minggu hanya untuk sediakan akses bacaan ke anak-anak di kaki Gunung Salak Bogor. Masih bisa membimbing anak-anak yang terancam purus sekolah untuk tetap membaca buku. Tanpa gengsi, seminggu sekali dari Jakarta ke Gunung Salak hanya untuk mengabdi secara sosial. Tanpa disadari sudah berjalan 6 tahun terakhir ini. Bayangkan bila modal gengsi, apa sih yang bisa saya kerjakan?

Hidup tanpa gengsi itu tidak ada tuntutan yang harus dikejar. Tidak banyak waktu pula yang terbuang sia-sia. Hanya untuk terlihat keren dan baik di mata orang lain. Jadi lebih realistis daripada kamuflastis. Jadi lebih banyak mensyukuri nikmat hidup dan karunia Allah SWT.

Orang-orang pengagum gengsi sering lupa. Bahawa uang sekecil apa pun pasti cukup bila digunakan untuk hidup. Tapi uang sebanyak apa pun tidak akan pernah cukup, bila dipaksa untuk memenuhi gaya hidup. Jadi untuk apa "mengedepankan gengsi" bila lebih banyak sengsaranya. Jadi "tidak apa adanya" melainkan "ada apanya". Maka hati-hati dengan gengsi. Karena gengsi itu penyakit moral. Hidup itu tidak tergantung gengsi, tapi tergantung Allah SWT. 

 

Gengsi itu bukan harga diri. Karena sejatinya, hidup itu murah tapi merek yang bikin mahal. Hidup itu sederhana tapi gengsi yang bikin rumit. Makan tuh gengsi! Salam literasi #PegiatLiterasi #TamanBacaan #TBMLenteraPustaka




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline