Lihat ke Halaman Asli

Syarif Yunus

Dosen - Penulis - Pegiat Literasi - Konsultan

Budaya Baca Terpinggir, Mutu Pendidikan Kian Nyinyir

Diperbarui: 7 Juni 2019   19:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Percaya gak? Kalau mutu pendidikan itu sebetulnya sangat bergantung pada budaya membaca. Harusnya sih begitu. Karena membaca kan memang untuk menambah ilmu dan pengetahuan, bahkan wawasan. Buku-buku yang dibaca, tentang apapun, pastinya memberikan informasi kepada si pembacanya. Jadi gak bisa dibantah, bahwa membaca sangat menentukan mutu pendidikan.

Sebut saja negara Finlandia.

Finlandia adalah negara dengan sistem dan mutu pendidikan terbaik di dunia. Tiap kali ada rating pendidikan, Finlandia selalu mengungguli Amerika Serikat dalam literasi membaca, sains, dan matematika. Finlandia selalu menempati skor terbaik dalam survei penilaian siswa internasional (PISA). Padahal, sekolah di Finlandia memiliki hari sekolah yang lebih singkat jika dibandingkan dengan sekolah di negara lain. Bahkan sekolah Finlandia tidak melakukan ulangan atau ujian standar.

Masyarakat Finlandia memang sangat membudayakan kegiatan membaca. Anak-anak usia sekolah di sana sangat antusiasa atau ketagihan dalam urusan membaca. Finlandia memang bukan negara kaya. Tapi urusan pendidikan, negara ini tergolong tidak tertandingi. Jadi sangat jelas, budaya membaca pastinya menjadi alasan meningkatnya mutu pendidikan.

Mari kita tengok di Indonesia. Hari ini, berapa banyak anak-anak Indonesia yang gemar mmbaca? Faktanya tidak banyak. Bila merujuk pada survei UNESCO (2012), indeks tingkat membaca masyarakat Indonesia hanya 0,001 persen. Artinya, hanya ada satu orang dari 1000 penduduk yang masih 'mau' membaca buku secara serius. Alhasil, sangat wajar Indonesia ditempatkan pada posisi 124 dari 187 negara dalam penilaian Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Karena budaya membaca sangat rendah. Budaya literasi pun baru sebatas didengung-dengungkan, belum dimplementasi secara nyata, masif, dan berkelanjutan.

Bahkan di era digital seperti sekarang, budaya baca semakin terpinggirkan. Minat baca anak-anak makin rendah. Beragam jenis hiburan, game, handphone, tayangan TV, internet yang kurang mendidik makin menjauhkan anak-anak dari buku bacaan. Bahkan guru atau pendidik pun ikut terbawa arus. Karena faktanya, guru dan pendidik di Indonesia saat ini pun makin "jauh" dari aktivitas membaca dan menulis. 

Kata banyak orang, waktu itu sangat penting. Tapi di Indonesia, bisa jadi, banyak waktu yang terbuang percuma untuk kegiatan yang sia-sia. Waktu untuk membaca justru habis digunakan untuk kebiasaan yang tidak baik, seperti ngobrol, main handphone, nonton dan sebagainya. 

Sangat jelas, antusiasme membaca orang Indonesia sangat rendah. Lebih senang aktivitas yang instan dan sedikit manfaatnya. Maka wajar, mutu pendidikan di Indonesia pun masih rendah. Alih-alih, mutu pendidikan membaik malah jadi menurun. Karena budaya membaca sudah semakin langka. Membaca itu penting hanya sebatas diskusi dan seminar, tanpa perlu benar-benar dibudayakan dalam perilaku.

Terbukti, budaya membaca berpengaruh pada mutu pendidikan.

Riset PISA dan Libang Depdiknas (2003) menyebutkan kemahiran membaca anak usia 15 tahun di Indonesia sangat memprihatinkan. Sekitar 38% hanya bisa membaca tanpa bisa menangkap maknanya dan 25% hanya bisa mengaitkan teks yang dibaca dengan satu informasi pengetahuan. Itu pertanda bahwa membaca bukan budaya di negeri ini. 

Karena itu, upaya meningkatkan tradisi baca dan budaya literasi anak-anak usia sekolah harus digalakkan dalam aksi nyata. Gerakan Literasi Sekolah (GLS) yang sudah dicanangkan harusnya jangan sebatas gerakan tanpa aksi nyata. Atau sebatas seremoni tanpa program berkelanjutan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline