Lihat ke Halaman Asli

Mendung Tak Selamanya

Diperbarui: 23 Oktober 2017   03:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Surga Dunia

Telah tercipta

Surga dunia

Bagi orang-orang yang bersyukur

Tetapi kala surga hanya tujuan

Meski seorang alim, abid

Menyelubung harap

Maka surga tiada merapat

Usianya telah senja, warna perak menyepuh hampir seluruh rambutnya. Matanya cekung, gigi serinya masih utuh meski terlihat agak kusam oleh sebab kebiasaan mengunyah daun sirih, hanya beberapa gigi geraham yang telah tanggal. Wajahnya menyiratkan sebuah pertanda telah berkurangnya usia, semakin keriput karena ditelan masa, dihempas oleh perjalanan waktu.

Jika diukur dengan usia, semestinya ia sudah saatnya beristirahat ongkang-ongkang kaki di rumah, tetapi ia tetap saja melakoni rutinitasnya di pematang sawah saban hari meski sudah udzur. Kedua kakinya sebenarnya sudah ringkih, tetapi masih sanggup menopang tubuh rentanya. Masih mampu menaiki dan menuruni tanjakan menyusuri jalanan berliku menuju peraduannya, yaitu sawah. Mungkin karena rutinitasnya itulah tulang-tulang di kakinya malah justru menjadi semakin kuat. 

Semua itu dilakukannya sebagai ungkapan dari rasa syukur kepada yang kuasa atas rahmat dan karunianya, pada siang dan malam tanpa tiada terhitung. Jika matahari telah terasa di ubun-ubun, ia lalu melepas lelah dan menghabiskan waktunya di sebuah gubuk  di pinggir sungai. Pakaian kebesarannya hanyalah kebaya kuno dan beberapa utas jarek. Tidak ada kemewahan sama sekali dalam diri perempuan tua itu. Sekilas perawakan tubuhnya sedang-sedang saja, seperti kebanyakan perempuan-perempuan jawa pada umumnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline