Lihat ke Halaman Asli

Syaiful Anwar

Dosen FEB Universitas Andalas Kampus Payakumbuh

Soft Skills yang Diam-diam Lebih Diincar daripada IPK (2).

Diperbarui: 4 Oktober 2025   10:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Worklife. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Ada satu kebiasaan mahasiswa menjelang wisuda: pamer IPK di Instagram. Caption-nya panjang, pakai emotikon nangis-bangga, lalu ditutup dengan kalimat "semoga ilmunya bermanfaat." Padahal, dua bulan kemudian, dia masih nganggur. Kenapa? Karena di wawancara kerja, jawabannya lebih kaku daripada patung di taman kampus.

Inilah rahasia kecil dunia kerja: IPK itu penting... tapi cuma buat bikin mama bangga. Setelah masuk dunia nyata, yang dicari justru soft skills. Kalau IPK itu rapor, soft skills itu "bakat bertahan hidup." Dan percayalah, HRD lebih suka orang yang bisa komunikasi jelas ketimbang yang cuma jago bikin tabel regresi.

Fenomena ini bikin saya geli. Banyak kampus sibuk mengejar akreditasi A, bikin spanduk "World Class University", tapi lulusannya masih "A" juga: asal ada. Mahasiswa dipaksa hafal teori panjang-panjang, tapi ketika diminta menjelaskan idenya dalam dua menit, yang keluar cuma "eee... anu... gimana ya, Bu."

Dampaknya? Dunia kerja penuh dengan lulusan cum laude yang panik begitu disuruh presentasi tiga slide. Atau lebih tragis: ada sarjana dengan IPK 4,0 tapi gagal karena tak bisa kerja sama tim. Ya wajar---selama kuliah, tim work-nya cuma "satu orang ngerjain, sisanya nunggu beres."

Padahal psikologi organisasi sudah jelas: perusahaan lebih menghargai emotional intelligence, kemampuan beradaptasi, dan kreativitas. Karena jujur saja, IPK 4,0 tidak ada gunanya kalau Anda gampang baper setiap kali kritik datang. Bos tidak butuh staf yang selalu "siap, Pak" tapi mewek begitu diminta revisi.

Soft skills yang diam-diam lebih dicari itu sederhana kok:

  • Komunikasi: bisa ngomong tanpa bikin ruangan bosan.
  • Kerja tim: sanggup menghadapi rekan kerja nyebelin tanpa merencanakan kudeta.
  • Problem solving: mencari solusi, bukan alasan.
  • Humor: ya, yang bisa bikin suasana cair. Karena kantor bukan seminar nasional yang selalu kaku.

Sayangnya, banyak universitas masih sibuk dengan lomba ranking internasional. Dosen stres ngejar publikasi, mahasiswa stres ngejar nilai, tapi lupa latihan ngobrol sama manusia. Akhirnya, kampus mencetak robot akademik: pintar teori, tapi kagok kalau disuruh sekadar basa-basi dengan klien.

Sebagai dosen yang sudah terlalu sering menghadiri rapat anggaran (dan tahu betul betapa seringnya dana "pembinaan soft skills" itu nyangkut di perjalanan), saya cuma mau bilang: IPK boleh tinggi, tapi kalau soft skills nol, ya sama saja kayak punya Ferrari tapi nggak bisa nyetir.

Maka, wahai mahasiswa, jangan cuma bangga dengan toga dan transkrip. Belajarlah juga cara mendengar, cara bercanda yang cerdas, dan cara bekerja dengan orang yang Anda tidak suka. Karena di dunia nyata, promosi jabatan lebih sering diberikan kepada orang yang bisa bikin rapat lancar---bukan kepada yang cuma hafal definisi supply and demand.

Dan ingat: bos besar tidak peduli Anda cum laude atau come late. Yang penting, apakah Anda bisa kerja tanpa bikin kantor jadi sinetron.

Tapi, ingatlah bahwa IPK yang cantik akan mengantarkan Anda ke meja wawancara yang cakep

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline