Lihat ke Halaman Asli

SR W

Manusia

Cerpen | Kisah dari Sang Barista yang Jatuh Cinta

Diperbarui: 23 Februari 2019   18:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dokpri

Malam ini aku teringat sesuatu, kasihku. Degub jantung yang sudah lama tidak aku rasakan, setelah sekian lama. 

Waktu itu hari baru saja beranjak memasuki malam. Muda-mudi datang silih berganti. Bergandeng tangan dengan senyum sumringah yang terlukis di wajahnya. 

Terlihat juga beberapa pasang kekasih duduk saling tatap. Ada juga yang datang bersama kelurganya, bercanda riang dengan istri serta anak-anaknya yang seumuran dengan adikmu. 

Hiruk pikuk kedai memang selalu seperti ini, kekasih. Terlebih lagi ketika malam minggu tiba. Sabtu sore itu kau mengabariku, mengirimkan sebuah pesan "...aku akan ke sana." katamu.

Saat membaca pesan itu, sontak aku tersenyum girang. Lantas kubalas "kabari aku secepatnya, jika sudah tiba." 

Pukul tujuh lewat tiga puluh. Belum datang kabar darimu. Gerimis bak salju mulai turun. Aku bisa melihat jelas rintiknya yang tergambar jelas di bawah sorot lampu jalan. Harapanku meredup. 

Hujan akan turun dan kau akan membatalkan janjimu, batinku. Dengan cepat aku merogoh ponsel yang ada di saku celanaku. Memeriksa kabar terbaru yang mungkin akan memperjelas kedatanganmu. Sayangnya tidak kudapati satu pesanpun yang terpampang di layar.

Tujuh lewat empat puluh, Cangkir demi cangkir kopi sesuai dengan pesanan para tamu yang datang sudah sampai di mejanya. Ponselku belum berdering juga. Sesekali aku bisa melupakan janji kehadiranmu saat diriku bergulat dengan cafe late, cappucino dan berbagai macam sajian kopi lainnya.

Tapi sialnya, bayangan tentang janji kehadiranmu begitu cepat memenuhi ruang imajinasiku. Setiap ada pelanggan baru yang masuk, mataku langsung tertuju kesana. Tentu saja, dengan harapan kaulah yang akan melintasi pintu kaca itu.

Pukul delapan tepat. Wajah para pelanggan yang datang sejak sore bergantian dengan wajah-wajah baru. Cangkir-cangkir kopi pun sudah berulang kali keluar masuk dari balik meja bar-ku. Berulang kali juga aku memeriksa ponselku berharap pesan baru darimu. Juga berulanh kali menoleh kearah pintu kaca itu. Belum juga ku temui wajah ayu dirimu.

Delapan dua puluh. Aku pasrah, ku letakkan ponselku di laci, bersama biji-biji kopi dan beberapa lembar kertas laporan persediaan bahan. Aku sudah memaafkan janji yang kau ingkari, batinku. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline