Lihat ke Halaman Asli

Syahrul Chelsky

TERVERIFIKASI

Roman Poetican

Cerpen | Sebuah Usaha Memaknai Hidup

Diperbarui: 8 Mei 2019   17:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi by pexels

Ini kehidupan impian saya; punya istri cantik, seorang anak dan sebuah pekerjaan di kantor perpajakan. Tapi seperti dua sisi mata koin, kadang saya menyukai dan membencinya. Ada beberapa alasan yang saya rasa dapat saya jabarkan jika kelak ada seseorang yang bertanya kepada saya kenapa saya membenci hidup saya. Entahlah, orang kurang kerjaan macam apa yang mau menanyai saya pertanyaan semacam itu. 

Hari ini, Selasa. Dua orang datang ke meja saya dan melabrak tanpa penjelasan apa-apa, meminta saya untuk memperbaiki lembar-lembar laporan yang tidak saya kerjakan. Mungkin mereka mengira kalau saya ini operator warnet. Tapi operator warnet sekali pun tidak akan mampu membikin laporan serumit ini. 

Mentok-mentok cuma membuatkan makalah untuk anak-anak sekolah. Ujung-ujungnya, ternyata cuma salah paham. Kalau saja saya orang yang tidak makluman, mungkin sudah saya bius mereka berdua dengan aroma kaos kaki yang lupa saya cuci selama seminggu.

Tak ada hal yang lebih menyenangkan ketimbang menengok jam dinding ketika kedua jarumnya telah membentuk sudut 25 derajat, menunjuk angka 2 dan 12. Saya ingin segera pulang dan menghadapi masalah saya yang lain; omelan pedas istri saya, tagihan listrik, tunggakan arisan mingguan, uang sekolah anak dan jatah pengemis di depan gang yang seharusnya tidak saya pikirkan.

Saya lapar sekali. Pagi tadi istri saya bangun kesiangan dan terpaksa saya tidak sarapan. Cuaca sedang panas. Sementara lampu merah di depan tidak bergeming; hitung mundur otomatisnya rusak.

"Duh, cepetan dong! Panas nih!"

Seorang wanita berusia sekitar seperempat abad terkatung-katung di atas motor merahnya. Mengibas-ibas tangannya ke arah kepala yang ditutupi sebuah helm berwarna putih.  Saya memerhatikannya dan mengerti betul apa yang membuat sebagian besar wanita ogah untuk berpanas-panasan. Ya, itu akan membuat makeup mereka luntur. Saya serius. Wanita itu berbalik menatap saya dengan sinis. Saya segera berpaling sambil tertawa kecil di dalam hati.

Akhirnya. Lampu hijau. Seperti sebuah penantian panjang menuju kebahagian. Terasa lama sekali. Padahal hanya sekitar dua menit. Mungkin karena perut saya lapar. Atau mungkin karena cucuran keringat dari pori-pori dan sela-sela makeup wanita tadi. Astaga, Mbak. Mohon maafkan saya, saya memang suka begitu kalau sedang dihantui banyak beban pikiran.

Hampir sampai di pertigaan, di depan saya akan belok kanan. Lima meter sebelum berbelok saya menyalakan lampu sein. "Bruakkk!" tiba-tiba motor saya disenggol sebuah mobil yang melaju cukup cepat. Motor saya sempat berpindah posisi sekitar 70 senti. 

Tapi saya tidak terpental. Hanya terkejut. Beruntung, tapi sial. Saya mendengar seperti ada bagian dari motor saya yang patah atau  terlepas. Karena saya kira moncong mobil itu pastilah lebih kuat dari plastik murahan motor saya. Segera saya turunkan standar motor saya. Dan benar saja. Spakbor belakang motor saya pecah.

Dari jarak sekitar lima belas meter saya melihat supir dari mobil itu keluar.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline