Mohon tunggu...
Syahrul Chelsky
Syahrul Chelsky Mohon Tunggu... Lainnya - Roman Poetican

90's Sadthetic

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Sebuah Usaha Memaknai Hidup

7 Mei 2019   08:21 Diperbarui: 8 Mei 2019   17:12 684
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi by pexels

"Woy bangsat! Kalau bawa motor yang bener dong! Tahu guna lampu sein nggak!?" dia memaki saya.

"Lho, Mas. Saya sudah nyalain sein ya. Mas aja yang bawa mobilnya kecepetan. Sampai-sampai saya yang udah belok masnya nggak liat."

"Alaahhhhh! Banyak cincong kau. Alasan saja!"

Kemudian pengemudi mobil yang kiranya berusia dua puluh limaan itu kembali masuk ke dalam mobilnya dan segera tancap gas. Meninggalkan saya yang termangu diam memandangi spakbor belakang yang remuk. Saya berusaha untuk mengingat-ingat lagi gurat wajahnya. Jika nanti ketemu dia lagi, akan saya babak habis mobilnya.

Mungkin cuma di negeri ini, yang salah malah yang tinggi suaranya.

"Aduh gusti. Keluar duit lagi."

Belum juga saya mau menyampari orang itu untuk meminta pertanggungjawaban. Dia malah tancap gas duluan. Ini bukan kesalahan saya kan? Toh saya sudah menyalakan lampu sein. Dianya saja yang ngebut. Mau bilang apa sama istri di rumah nanti? Kenapa tidak sekalian sama saya saja yang ditabrak?

Saya semakin putus asa. Dan asal kalian tahu. Ini bukan pertama kalinya saya merasa sesial ini. Belakangan saya baru tahu dari tetangga, kata mereka istri saya sekarang sering main mata dengan penjual sayur keliling yang menggunakan motor Kawasaki Ninja untuk jualan. Gila saja. Motor jualan sayurnya jauh lebih keren dari motor bebek yang mengantar saya dari satu titik ke titik lain setiap hari. Ah, kenapa saya malah fokus ke sana.

Belakangan juga, pemilik rumah kontrakan saya sering marah-marah karena saya belum membayar sewanya  selama dua bulan. Atau masalah anak laki-laki saya di sekolah. 

Dia baru kelas empat tapi sudah dicap sebagai anak nakal karena sering berulah dan berkelahi dengan teman sebayanya. Bahkan dua hari yang lalu dia meninju kakak kelasnya sampai mimisan. Dan ketika saya bertanya kenapa dia memukulnya. Jawabnya ringan sekali, "Karena wajahnya ngeselin." Saya tepok jidat dan menyerah atas kegagalan saya dalam mendidik anak. Padahal baru satu. Bagaimana kalau banyak?

Saya melanjutkan perjalanan yang sekiranya tujuh kilometer lagi untuk sampai ke rumah saya. Di bawah teduh pohon akasia saya memutuskan untuk beristirahat sembari memesan seporsi nasi goreng dari penjual yang baru sekali ini saya lihat berada di sini. Entah kenapa terasa ada yang aneh dengan hari ini. Sejak di lampu merah, suasana pinggiran kota ini senyap. Jalanan nampak lengang. Tapi saya abai saja. Saya sedang lapar-laparnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun