Lihat ke Halaman Asli

Syahirul Alim

TERVERIFIKASI

Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Modernisasi Puasa: Mengabaikan Mitos, Memelihara Etos

Diperbarui: 10 April 2022   07:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi kegiatan buka puasa virtual.| Sumber: Shutterstock via Kompas.com

Watak puasa yang sesungguhnya adalah lebih banyak diam atau mengurangi aktivitas baik individual terlebih sosial demi tujuan-tujuan pendekatan dan penyucian diri kepada Tuhan. 

Puasa lebih bernuansa transenden, melalui suatu keyakinan bahwa ibadah ini memang diinginkan Tuhan (Asshaumi Lii) dan Tuhanlah yang akan menilainya (Wa Ana Ajzi bihi).

Sifat puasa yang transenden mencegah perubahan kesakralannya, sekalipun etos dominan umat Islam--sebagaimana Bellah--adalah "etos duniawi, aktivis, sosial, dan politik". 

Kenyataan ini memungkinkan puasa bertransformasi mengikuti perkembangan zamannya, bukan pada kandungan nilai sakralnya, tetapi pada aspek-aspek sosio-politik yang yang melingkupinya.

Di abad 21 ini, kita melihat aktivitas berpuasa kerap ditandai oleh atau beriringan dengan meningkatnya potensi keekonomian masyarakat, terutama yang kita saksikan di negara-negara Muslim, seperti Indonesia. Bahkan peningkatan pemanfaatan teknologi justru dirasakan ketika umat Muslim di seluruh dunia melaksanakan ibadah puasa. 

Tayangan-tayangan komersil dan semaraknya kuliner bahkan pernak-pernik yang ditawarkan disaat puasa justru lebih meningkat dibanding ketika umat Muslim tidak berpuasa.

Realitas ini paling tidak membawa suatu pemahaman bahwa modernisasi tetap membawa pengaruh sebagai upaya menggeser mitos seraya memperteguh etos umat Islam sendiri.

Etos duniawi itu barangkali ketika ditunjukkan oleh sebuah riwayat dimana "mereka yang bergembira dengan bulan Ramadhan akan memperoleh balasan surga". 

Sebagian elit sosial seperti para guru agama atau ustadz yang jelas merengguk kegembiraan puasa sebab aspek keekonomian jelas menggembirakan. Dari sisi ini nampak bahwa Islam tidak mengenal pemisahan antara yang sakral dan temporer, sekuler dan religius, duniawi dan ukhrowi, material dan spiritual, sehingga aspek dualitas ini tidak berhenti pada tataran intelektualitas namun tetap hidup dalam ranah aktivitas yang secara keseluruhan membentuk "living Islam". 

Sehingga kita tidak akan kaget dengan berbagai fenomena sekuler ditengah-tengah pelaksanaan ibadah puasa yang "sakral".

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline