Lihat ke Halaman Asli

Syahirul Alim

TERVERIFIKASI

Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Segitiga Makna dalam Komunikasi Politik Jokowi

Diperbarui: 14 November 2016   14:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Presiden Joko Widodo saat memberikan pernyataan terkait demo 4 November 2016 di Istana Merdeka, Sabtu (5/11/2016). (BIRO PERS SETPRES/KRIS)

Pasca aksi “411” yang kemudian banyak melahirkan beragam interpretasi dalam ranah publik, terutama soal kasus Ahok, membuat Presiden Jokowi semakin gencar melakukan safari politik. Diawali dengan mengundang para ulama dan tokoh agama Islam ke Istana, kemudian bertandang ke markas militer dan terakhir, memenuhi undangan beragam kegiatan yang digelar oleh parpol yang notabene berbasiskan massa muslim. 

Jokowi seakan memberikan pesan yang jelas, bahwa dirinya masih milik bangsa Indonesia, bukan milik salah satu parpol tertentu, atau “bermain” dalam wilayah kepentingan tertentu, tetapi Jokowi seakan menguatkan informasi kepada publik tentang pesan-pesan kebangsaan, kebersamaan dan sekaligus menegaskan netralitas dirinya dari berbagai kepentingan politik yang sejauh ini seringkali diasumsikan publik kepada dirinya.

Walaupun komunikasi politik yang saat ini sedang dibangun terkesan “insidental” yang diakibatkan perubahan konstelasi politik pasca Aksi Damai “411”, namun sejauh ini, upaya Presiden untuk “berdamai” dengan beragam elemen bangsa, patut mendapatkan apresiasi.

Bagi seorang intrepreter yang mengamati pola komunikasi politik Jokowi, pasti akan beranggapan bahwa apa yang dilakukan Jokowi belakangan ini adalah upaya meredam tuntutan umat Islam yang semakin meluas tentang persoalan penyelesaian kasus Ahok yang dirasa masih sangat berlarut-larut dan dinilai timpang. Objek komunikasi politik yang disasar oleh Jokowi jelas mengarah kepada umat muslim yang masih terus menyuarakan tuntutan untuk segera menyelesaikan kasus yang dianggap sangat sensitif dan melukai perasaan sebagian besar umat muslim.

Seakan sedang membangun sebuah kekuatan makna, Jokowi menggunakan landasan komunikasi triangle meaning (hubungan segitiga makna) di mana, hampir disemua pesan yang disampaikan saat serangkaian safari politiknya, baik dengan tokoh-tokoh muslim, militer atau parpol berbasis massa muslim, objek komunikannya seragam, yaitu umat muslim yang menuntut keadilan atas penyelesaian kasus Ahok.

Dalam teori komunikasi triangle meaning yang dipopulerkan oleh Charles S Pierce dan Ivor A Richard, terdapat keterkaitan antara tanda yang ditunjukkan oleh kata-kata dan objek komunikasi yang kemudian dapat dijelaskan oleh tanda. Objek komunikasi dan tanda tersebut menyatu dalam diri seorang interpretan yang kemudian ketiganya saling berkait membentuk suatu makna yang diwakili oleh tanda tersebut. Objek komunikan yang disasar Jokowi tentunya adalah komunitas agama, papol berbasis agama dan militer.

Kedua yang disebut pertama berkaitan dengan upaya menggalang “perdamaian” sehingga upaya-upaya segala kepentingan yang mengarah kepada disintegrasi bangsa dapat diantisipasi sedini mungkin dan yang disebut ketiga lebih menunjukkan makna “kekuatan” yang dimiliki oleh negara. Militer merupakan lambang “kekuatan” sebuah negara yang justru selalu menjadi garda terdepan dalam mengantisipasi upaya-upaya kekuatan apapun yang mengancam integrasi bangsa. Meski demikian, Jokowi tetap mengedepankan strategi dialogis yang dibangun melalui serangkaian safari politiknya dan menghindari pola komunikasi membentuk  imageshow of force” yang pernah ditunjukkan melalui kunjungannya ke markas militer.

Dari bentuk komunikasi verbal yang diungkapkan Jokowi, selalu saja mengandung makna tentang bagaimana menjaga rasa persatuan dan kesatuan bangsa yang sementara akibat kasus Ahok justru semakin terganggu. Kita mungkin menyadari, betapa kejamnya informasi viral di media sosial yang lebih banyak mengganggu stabilitas kebangsaan dan keindonesiaan, dibanding memberikan informasi yang menenangkan dan menyejukkan.

Dalam konteks lain, Jokowi seakan ingin menunjukkan kepada kita bahwa kasus Ahok dapat menjadi pembelajaran bagi seluruh elemen bangsa untuk tetap menjaga perdamaian dan toleransi yang justru belakangan ini rentan sekali dimanipulasi menjadi kebencian dan intoleransi. Saya kira, semua sudah semakin sadar dan merasakan, bahwa perbedaan pendapat mengenai dugaan penistaan agama yang menjerat Ahok telah banyak menimbulkan persoalan publik yang berpotensi besar terhadap disintegrasi bangsa.  

Kita tentu tahu, bahwa serangkaian safari politik Jokowi dengan objek komunikan yang berbeda, tetap memiliki muatan makna yang sama: mendorong ke arah penguatan persatuan dan kesatuan bangsa. Bahkan, dalam rangkaian safari politiknya ketika menghadiri kegiatan beberapa parpol berbasis massa muslim, Jokowi mengeluhkan soal tidak adanya produk komunikasi yang baik dan profetik dalam menyikapi kasus Ahok yang tersebar di media sosial. Yang muncul justru produk komunikasi yang terkesan “semau gue” tanpa didasari pesan-pesan kebaikan bahkan seringkali menimbulkan stigmatisasi publik yang membelah mereka menjadi pro dan kontra terhadap penyelesaian kasus Ahok.

Drama kasus Ahok di media sosial sepertinya lebih didominasi oleh hate speech, rasisme, merendahkan orang lain, memfitnah atau tak segan-segan membangun stigma kebencian kepada orang atau kelompok lain. Saya kira, mungkin benar, bahwa kasus Ahok seharusnya dalam banyak hal bisa memberikan pelajaran berharga soal berdemokrasi, menerima setiap perbedaan pendapat, toleransi dan banyak hal lainnya. Saya kira, di sinilah muatan komunikasi politik yang sebenarnya telah dibangun oleh Jokowi dalam menyikapi kasus Ahok.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline