Ada tren baru yang diam-diam mulai ramai dibicarakan: grounding. Praktiknya sederhana. Lepas alas kaki, injakkan telapak di tanah, lalu letakkan tangan di batang pohon. Konon, dalam lima belas menit saja, stres akan tersedot bumi, lelah mengalir ke akar, dan pikiran kembali segar.
Bagi sebagian orang, itu terdengar mistis. Bagi yang lain, justru terasa sebagai terapi alami yang logis. Pertanyaannya: benarkah pohon dan tanah bisa menarik energi negatif dari tubuh kita? Ataukah ini hanya permainan sugesti?
Hutan sebagai laboratorium alami
Psikologi modern tidak menutup mata pada fenomena ini. Jepang sejak lama mempopulerkan praktik shinrin-yoku atau forest bathing: mandi hutan. Riset menunjukkan bahwa berjalan pelan di antara pepohonan dapat menurunkan hormon stres (kortisol), menstabilkan tekanan darah, bahkan memperbaiki kualitas tidur.
Sederhananya, manusia memang makhluk yang dibentuk untuk hidup bersama alam. Pola urban yang serba beton membuat otak kita kehilangan "vitamin hijau" yang justru dibutuhkan untuk menyeimbangkan ritme hidup. Maka wajar jika berdiri di tanah atau memeluk pohon terasa seperti pulang ke rumah lama yang lama kita tinggalkan.
Ilmu listrik tubuh: bukti atau metafora?
Di sisi lain, ada teori yang mengatakan tubuh manusia menyimpan muatan listrik, dan bersentuhan dengan bumi dapat menyeimbangkannya. Beberapa studi kecil melaporkan manfaat grounding terhadap nyeri kronis atau kualitas tidur. Namun, bukti ini masih tipis dan belum masuk ke arus utama sains.
Maka ketika seseorang berkata "energi negatif keluar lewat telapak kaki," ada baiknya kita menyikapinya sebagai metafora, bukan fakta laboratorium. Bahasa itu indah untuk menggambarkan pengalaman batin, tapi jangan buru-buru menganggapnya hukum alam yang terukur.
Efek nyata yang tidak perlu dibantah
Meski klaim "energi" belum kuat secara ilmiah, ada efek lain yang jelas terasa. Pertama, telapak kaki adalah pusat ribuan ujung saraf. Menyentuh tanah tanpa alas merangsang saraf itu secara alami, sesuatu yang tidak kita dapatkan dari sepatu modern. Kedua, tubuh yang bersentuhan dengan alam memicu relaksasi indera: udara segar, suara burung, tekstur batang pohon, semua bekerja menurunkan ketegangan.
Ditambah lagi, kebersamaan dengan alam memaksa kita menurunkan tempo. Tidak ada notifikasi, tidak ada layar. Hanya tubuh, pohon, dan diam. Dan diam itulah yang sering kali kita rindukan.
Menyentuh pohon, menyentuh diri
Grounding pada akhirnya bukan soal benar atau tidaknya "energi bumi" bekerja. Ia soal bagaimana manusia belajar kembali menambatkan diri pada alam. Menyentuh pohon sama artinya dengan menyentuh sisi terdalam diri kita yang sering terkubur di balik kesibukan digital.
Dalam masyarakat yang mudah panik, mudah marah, dan mudah lelah, aktivitas sederhana ini justru bisa menjadi pengingat bahwa ketenangan tidak harus dibeli. Tidak perlu ke spa mahal, tidak wajib berlangganan aplikasi meditasi. Tanah dan pohon adalah guru gratis yang selalu menunggu di sekitar kita.