Kita dulu pernah percaya bahwa teknologi akan memerdekakan manusia, menyamakan peluang, meratakan jalan menuju masa depan.
Tapi nyatanya, teknologi lebih sering memperkuat ketimpangan. Di balik setiap inovasi, selalu ada pertanyaan: siapa yang akan tertinggal kali ini?
Janji-janji revolusi digital yang dulu dielu-elukan ternyata menyisakan generasi yang gagap, tersisih dari sistem yang terus mempercepat dirinya sendiri.
Hari ini, wacana tentang kecerdasan buatan digemakan seolah ia hadir sebagai penyelamat umat manusia.
Tapi siapa yang benar-benar siap menyambutnya?
Di banyak ruang kelas, ruang kerja, dan ruang hidup kita, kemampuan dasar literasi digital saja masih belum merata.
Lalu tiba-tiba kita diajak bicara tentang prompt, GPT, dan automasi cerdas.
Bukankah ini seperti mengajak lari maraton orang yang bahkan belum punya sepatu?
Hingga pada suatu ketika, dunia akan menghadapi yang disebut sebagai kesenjangan kecerdasan buatan.
Kita pernah mengenalnya sebagai kesenjangan digital --- istilah yang menggambarkan jurang akses terhadap teknologi informasi antara yang melek dan yang terpinggirkan.
Namun zaman tak berhenti. Teknologi tak pernah menunggu. Kini, yang terancam bukan hanya yang tak bisa login, melainkan yang tak bisa berpikir secepat algoritma.