Lihat ke Halaman Asli

Satrio Wahono

magister filsafat dan pencinta komik

Akronim Rojali dan Rohana, Sirkularitas Tren Bahasa Zaman Baheula

Diperbarui: 2 Agustus 2025   20:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Saat ini, dunia perbahasaan kita diramaikan dengan istilah ekonomi fenomena Rojali dan Rohana. Rojali adalah akronim dari Rombongan Jarang Beli, sementara Rohana merupakan akronim dari Rombongan Hanya Nanya. Keduanya merujuk pada fenomena pengunjung pusat perbelanjaan yang hanya berkunjung tapi tidak berbelanja, yang menyulitkan keuangan industri retail. Juga, menunjukkan adanya pelemahan ekonomi dalam bentuk penurunan daya beli.

Namun, tulisan ini tidak ingin membahas fenomena ekonomi tersebut. Melainkan, ingin menyoroti betapa tren kebahasaan itu bersifat sirkular, yaitu kembali lagi ke era 1970-an dan 1980-an, setelah beberapa tahun ke belakang istilah kebahasaan didominasi singkatan bahasa Inggris, seperti YOLO (You only Live Once), FOMO (Fear of Missing Out), cmiiw (correct me if i am wrong), fyi (for your information), dan lain sebagainya.

Tren 1970-80an

Meski tidak sepenuhnya akronim, pada 1970-an akhir sampai 1980-an, Indonesia memiliki istilah "bahasa prokem." Saking terkenalnya, bahasa ini memiliki kamusnya tersendiri (Kamus Bahasa Prokem, Henri Chambert-Loir, Grafiti Pers, 1990). Lebih teristimewa lagi, produk bahasa gaul lawas ini memiliki aturan baku.

Aturan baku bahasa ini adalah menghilangkan dua huruf akhir dari satu kata, membuang huruf hidup dalam suku pertama, lalu diselipkan huruf ok. Kata prokem adalah hasil aturan baku ini. Sebab, prokem berasal dari kata preman yang kehilangan huruf an (prem) dan disisipkan ok di tengahnya (pr + ok + em). Berdasarkan aturan atau tata bahasa inilah, kita mengenal istilah bokis dari kata biasa, bokap dari kata bapak, rokum dari kata rumah, toku dari kata tua, doku dari kata duit, gokil dari kata gila, bokin dari kata bini, cokin dari kata cina, sokin dari kata sini, sokap dari kata siapa, spokat dari kata sepatu, dan lain sebagainya.

Terkait akronim, zaman baheula, terutama sekitar tahun 1970-80an juga penuh akronim lucu-lucuan, yang dipopulerkan juga oleh ledakan sastra remaja di era itu oleh Majalah Hai, seperti serial Lupus karya Hilman Hariwijaya dan Catatan Si Roy karya Gola Gong, maupun sandiwara radio gaul ala Catatan Si Boy di Radio Prambors. Misalnya saja, ada istilah romantis (rokok makan gratis), setia (setiap tikungan ada), mandor kawat (makan kendor kerja kuat), gorila (gondrong dari lahir), gondangdia (gondrong dangdut India), gultik (gulai tikungan, tempat makan populer era 1980an di daerah Blok M), dan lain sebagainya.

Di era 1990an, akronim juga berlanjut dengan istilah krismon untuk merujuk krisis moneter 1997. Ada juga akronim untuk mengkritik film televisi Wonder Woman yang diperankan Lynda Carter dan ditayangkan di televisi swasta RCTI karena menampilkan sekwilda (sekitar wilayah dada) dan bupati (buka paha tinggi-tinggi)

Penggunaan akronim secara kreatif untuk merujuk pada fenomena tertentu sebagaimana populer di era 1970-80an dan berulang saat ini sebenarnya punya fungsi ganda. Pertama, ia mampu mensimplifikasi fenomena sosial maupun ekonomi yang rumit sehingga mudah dicerna khalayak. Akronim Rojali, misalnya, membuat orang dengan mudah menangkap ada indikasi pelemahan ekonomi.

Kedua, penggunaan akronim akan mengasah kreativitas penutur bahasa dan mentalitas kreatif inovatif tentu akan berperan signifikan bagi upaya pembangunan suatu bangsa.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline