Lihat ke Halaman Asli

Suyito Basuki

TERVERIFIKASI

Menulis untuk pengembangan diri dan advokasi

Pasar Kobong Terbakar

Diperbarui: 29 Januari 2022   17:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi Pasar Terbakar (Sumber Foto: news.detik.com)

Pasar Kobong Terbakar 

Oleh: Suyito Basuki

Setelah aku diwisuda dari Sekolah Pedhalangan Habirandha Kraton Yogyakarta, mungkin permintaan memainkan wayang oleh masyarakat umum di kotaku, baru kali ini.  

Mereka yang memintaku untuk mendalang semalam suntuk menamakan diri sebagai PPAPK. Kepanjangannya adalah: Paguyuban Pedagang Ayam Pasar Kobong.  Sesepuhnya masih terhitung pakdhe saya sendiri.

Saya ingat betul pesan Gusti Bendara Pangeran Haryo yang sering kami sebut Gusti Prabu, adinda kanjeng Sultan Hamengku Buwono X, sebagai pengageng yayasan sekolah pedhalangan tersebut, dalam sambutannya saat wisuda tahun lalu, beliau katakan bahwa dhalang adalah abdi masyarakat.  Sehingga dengan demikian, menurutnya, harus bisa memenuhi permintaan masyarakat.  

Pertimbangan seorang dhalang naik panggung bukan uang semata, tetapi lebih pada pengabdian dengan mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan.  Yang kucatat betul perkataan beliau adalah supaya dhalang dalam berkiprah jangan sampai meninggalkan pakem, namun juga harus berkreasi dengan maksimal supaya dibutuhkan oleh masyarakat.

Oleh karena itulah, ketika Pakdhe Setra memintaku untuk mendhalang dengan embel-embel hanya kerja bakti, saya mau saja.  Sekilas saja pakdhe menjelaskan bahwa hari-hari terakhir ini ada orang-orang kekar sering datang ke pasar.  

Dengan perkataan kasar, mereka sering membuat takut para pedagang ayam.  Apakah ini intimidasi dari pihak tertentu yang menginginkan pasar dipindah?  Pakdhe bertanya, tapi saya tidak bisa menjawabnya.

Hanya sebelumnya tentang pertunjukan wayang, saya katakan kepada Pakdhe Setra yang sejak mudanya sudah menjadi pedagang ayam mulai dari pasar tengah kota itu, bahwa model pakeliran saya nantinya bergaya mataraman.  Saya rela tidak dibayar, tetapi untuk rekan-rekan pengrawit dan sinden yang saya datangkan semua dari Berbah, Sleman, saya minta supaya honor mereka diperhitungkan.

Hitung-hitung saya coba menggelar pentas di kota sendiri dan menjajal segala kemampuan yang kutimba selama ini.  Menurut para rama dwija, yang mengasuh kami para siswa waktu itu, pakeliranku sudah lumayan, hanya masalah sabetan perlu dilatih terus supaya lebih cekatan.  "Kalau cekatan, pakeliranmu bakal lebih menjual..." demikian kata mereka.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline