Lihat ke Halaman Asli

Refleksi #1: Putih

Diperbarui: 26 Juli 2016   10:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Presiden Indonesia + istri dan wakilnya + istri (Sumber: http://m.tempo.com)

Setiap warna mengandung makna. Setidaknya itu yang kita lihat dan rasakan dalam kehidupan sehari-hari. Dan warna putih mungkin cukup spesial. Ada nilai atau makna ketinggian yang dikandungnya, di samping kemungkinan makna-makna lain. Tapi…setiap warna memang mengemban makna. Orang Indonesia, misalnya, memaknai warna putih pada bendera negaranya sebagai lambang kesucian, dan warna merah sebagai lambang keberanian.

Di pantai selatan Jawa, warna hijau mengandung semacam makna ancaman: jangan mengundang Nyi Loro Kidul untuk datang merenggutmu bila berenang di laut dengan baju (renang) warna hijau. Di banyak tempat di Nusantara, juga di wilayah lain di dunia, warna kuning asosiatif dengan keluarga bangsawan yang berdarah biru. Demikianlah umpamanya, dalam masyarakat Melayu, warna kuning sebagai perlambang kaum menak kentara sekali. Bila orang awam diundang oleh seorang raja di Malaysia, misalnya, sebaiknya jangan mengenakan pakaian berwarna kuning. Jika Anda memakainya, bisa menimbulkan masalah: Anda dianggap menyaingi sang raja.

Mungkin pemaknaan terhadap warna tertentu bersifat arbitrer. Tidak ada yang bisa menjelaskan secara memuaskan bagaimana makna tertentu dapat melekat (atau dilekatkan) pada warna tertentu. Paling banter orang hanya dapat berkata, misalnya, bahwa kuning asosiatif dengan emas, dan emas berharga mahal, dan oleh karena itu sesuatu yang mahal dan mewah asosiatif dengan raja, manusia kelas tinggi, wakil Tuhan di dunia.

Akan tetapi, dalam hal pemaknaan terhadap warna putih dan hitam, mungkin kolonialisme masa lampau yang busuk itu telah ikut memberi sumbangan. Pada masa itu, orang-orang putih adalah Tu[h]an yang superior di atas jenis manusia lainnya yang kulitnya berwarna hitam.

Orang-orang putih dari Eropa memperbudak orang-orang hitam dari Afrika, memperlakukan mereka tak lebih sebagai barang. Dalam kenyataannya, dikotomi (kulit) putih-hitam itu meluas menjadi (kulit) putih versus (kulit) berwarna. Putih, dengan demikian, dianggap sesuatu yang asli, yang pure, yang super dan paling pintar. Dan dari sikap kolonial masa lampau itu muncullah rasisme.

Di Zaman Kolonial, warna putih memang identik dengan orang putih, orang Eropa, minoritas the ruling class. Para penguasa kolonial, sejak dari Goevernoer Generaal sampai Tuan Controleur, memakai pakaian warna putih. Dan para inlanders kagum melihatnya, bahkan menimbulkan rasa takut. Ada suasana formal yang dimunculkan oleh pakaian orang Belanda yang berwarna putih itu. Disadari atau tidak, terbentuk kesan sebaliknya terhadap warna hitam: warna yang identik dengan kekumuhan, keterbelakangan. Di tahun 1920an, Parada Harahap, wartawan prolifik asal Sipirok itu, menulis:

Pembatja ma'loem, anak-anak dinegeri ketjil [di Tapanuli] sangat takoet kepada 'toean' biar 'toean Arab' ataupoen kepada toean Keling, tetapi jang ditakoeti oleh mereka betoel-betoel ialah 'toean poetih', karena warna 'poetih' itoe djoega di hormati oleh agama Islam.

Demikian djoega anak terseboet [yang tak sengaja melentingkan kerikil ketapelnya ke oto tuan controleur yang berbaju putih] sangat takoet sekali kepada segala barang jang berwarna poetih, karena ia tahoe dinding sekolahnja bertjat poetih, dan tjoema bagian sekolah itoe sebelah dibawah jang diter [dicat] berwarna hitam. Ia tahoe, bahwa goeroenja djoega takoet akan warna poetih itoe.

Goeroe-goeroenja sehari-hari mentjeriterakan, bahwa tak ada lagi warna jang dapat melebihi warna poetih itoe, baik tentang kekoeasa'an ataupoen kemolekan, seolah-olah warna hidjau jang dilangit atau warna merah di sebelah Barat, tatkala matahari terbenam, tidak berkoeasa di moeka boemi ini…. Sianak mempertjajai perkata'an goeroenja, karena hari-hari otak dan perasa'annja ditjat oleh goeroenja dengan warna poetih itoe.Ia melihat tiap-tiap orang mati, berboengkoes dengan kain poetih! Djoega tatkala Nabi Mohammad s.a.w. machirad [mikraj] kelangit, matanja sangat silau sekali melihat warna poetih, jang amat terang sekali.”

Demikian yang dapat kita baca dalam buku Parada Harahap Dari Pantai ke Pantai: Perdjalanan ke-Soematra, October – Dec. 1925 dan Maart – April 1926. Weltevreden: Uitgevers Maatschappij ‘Bintang Hindia’, 1926, hlm.155-156 [Bab 'Swenang-wenang']. Parada menggambarkan betapa warna putih memiliki makna yang khas, yang agak menakutkan, dalam kognitif si inlanders waktu itu.

Pikiran bahwa warna putih identik dengan yang superior itu masih melekat sampai sekarang dalam diri bangsa Indonesia. Gadis-gadis berlomba memutihkan kulit mereka dengan berbagai lotion kecantikan, seolah mereka mengutuk kulit hitam manis pemberian Tuhan kepada mereka. Ada juga yang bangga mendapatkan pasangan orang kulit putih.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline