Lihat ke Halaman Asli

Diskriminasi Etnis Rohingya di Myanmar: Bentuk Pelanggaran HAM

Diperbarui: 30 September 2022   14:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Myanmar merupakan begara bekas koloni Inggris yang meraih kemerdekaan pada tanggal 4 Januari 1948, dan memiliki jumlah penduduk yang lebih dari 50 juta jiwa. (Iswari, 2018). Penduduk Myanmar merupakan keturunan dari ras mongol dan menganut agama Budha yang taat, meski telah dinyatakan merdeka sejak 1948, Myanmar tetap dilanda pergolakan politik.

            Myanmar memiliki dua etnis yang sangat kontras yakni Rohingya dan Rakhine yang menempati wilayah arakan yang saat ini bernaa Rakhine. Rakhine merupakan etnis mayoritas yang beragam budha dan Rohingya sebaliknya, yaitu etnis minoritas yang beragama Islam. Etnis Rohingya mulai mengalami dikrimniasi karena mereka dianggap memiliki perbedaan identitas etnis dan ciri fisik yang berbeda dengan mayoritas warga Myanmar pada umumnya. Bahkan pada tahun 1948-1962 Rohingya sempat diakui menjadi bagian dari Myanmar, (Kurniawan, 2017), bahkan ada beberapa orang yang diberi kesempatan untuk mengisi kursi parlemen dan Menteri. Namun Ketika masa pemerintahan Jenderal Ne Win berkuasa di tahun 1962 dimulailah penginkaran terhadap etnis Rohingya yang Ketika itu masih dianggap sebagai etnis sah berkewarga negaraan Myanmar.

            Adanya perbedaan perspektif antara penduduk mayoritas dan etnis Rohingya menyebabkan konflik diskriminasi yang berkepanjangan yang mulai diangkat ke dunia internasional pada tahun 2016. Konflik yang berkepanjangan ini menyebabkan banyaknya penduduk Rohingya yang mengungsi ke negara lain. Tindakan yang dilakukan oleh etnis Rakhine juga merusak dan menghanguskan tempat tinggal mereka. Tindakan diskriminatif menyebabkan etnis Rohingya meninggal, dan kehilangan harta benda serta keluarga mereka.

            Melihat perebutan hak asasi manusia yang dilakukan Myanmar. Tindakan tersebut merupakan Genocide dan pelanggaran hak asasi manusia, sesuai yang diatur dalm perjanjian internasional oleh Universal Declaration of Human Right (UDHR), Statuta Roma, International Covenant on Civil and Political Right (ICCPR), International Covenant on the Rights of Child (CRC), Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women (CEDAW) dan International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination (ICERD).

            Jika dilihat dari tindakan Genocide, bahwasanya perlakuan Myanmar sudah termasuk dalam pasal 6 dan pasal 7 Statuta Roma yang mengatakan bahwsanya Genocide merupakan perbuatan yang dilakukan dengan tujuan menghancurkan, seluruhnya atau Sebagian suatu kelompok nasional, etnis, rasa atau keagamaan. Seddangkan dalam pasal 7 yang disebut dengan kejahatan terhadap manusia yaitu perbuatan yang dilakukan dari serangan meluas atau sistematik yang ditujukan kepada suatu keolmpok penduduk sipil. (Statuta Roma, 1998). Kasus ini sebenarnya dapat diatasi melalui ICC (International Criminal Court) dengan catatan Myanmar meratifikasi seluruh perjanjian internasional mengenai HAM yang telah disebutkan diatas, namun Myanmar hingga saat ini belum meratifikasi seluruh perjanjian diatas sehingga terjadinya perlambatan proses hukum. Karena itu menurut pasal 17 ayat 1 huruf a bahwasanya kasus yang sedang diselidiki oleh suatu negara yang memiliki jurisdiksi atas kasus tersebut, kecuali jika negara jika negara tersebut tidak bersedia. Maka menurut pasal tersebut ICC dapat mengambil tindakan dengan menetapkan sanksi hukum berupa pengenaan prinsip tanggung jawab pidana individu (Individual Criminal Responsibility).

            Pada pembahasan kali ini penulis menggunakan konsep Hak Asasi Manusia. Pengertian Hak Asasi Manusia menurut undang-undang No.39 Tahun 1999. Mengenai HAM merupakan seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.

            Menurut hemat penulis bahwasanya konflik di Myanmar yang terjadi pada etnis Rohingya telah mencapai level fragmentation of the enemy. (Suhartati, 2016).  Para muslim Rohingya selalu mendapat perlakuan yang keji dan tidak diakui sebagai warga negara Myanmar, demikian pula ketika berada diluar negri, etnis Rohingya menjadi warga yang kehilangan identitas. Untuk menyelesaikan konflik ini harus ada gerakan legal formal yang didukung oleh berbagai organisasi bilateral, regional dan internasional, salah satunya dengan membangun semangat Responsibility to protect (Yumitro, 2017) yang dapat dilakukan oleh semua pihak dengan berkomitmen penuh terhadap nilai-nilai moralitas dan kemanusiaan, dengan ini permasalahan akan dapat diselesaikan sampai akarnya.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline