Lihat ke Halaman Asli

Sulthon Abdul Aziz

Volunter Wonderhome Library

Anak Sholeh yang Benar-benar Sholeh

Diperbarui: 31 Desember 2020   02:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Setiap orang tentu akan berharap keturunannya menjadi anak yang sholeh. Bahkan sebelum kelahiran sang buah hati, seorang suami selalu bermunajat agar kelak dianugerahi oleh Allah SWT dengan kehadiran anak yang sholeh. 

Demikian pula seorang istri yang kian memasuki masa kehamilan akan semakin giat berdoa untuk kesholehan anak yang dinanti. Hingga tak terasa, ragam doa yang mereka hafalkan sejatinya adalah permohonan agar diberi keturunan yang sholeh.

Lantas siapakah yang dimaksud dengan anak sholeh? Apakah ukuran kesholehan antarsatu anak dengan yang lainnya itu sama? Dan, bagaimana seseorang dapat menjadi anak yang sholeh?

Terma 'sholeh' berasal dari bahasa Arab dengan akar kata shad, lam, dan ha yang berarti kedamaian, kebenaran, dan kebaikan. Dari akar kata tersebut lahirlah bentuk subjek 'sholeh' yang artinya baik dan benar, serta memiliki makna umum. Sehingga anak sholeh berarti anak yang baik dan benar. 

Secara istilah, orang sholeh adalah orang yang senantiasa menjalankan perintah Allah SWT dan menjauhi segala larangan-Nya. Perintah Allah SWT tidak terbatas pada ibadah sehari-hari seperti shalat dan puasa saja, tapi perilaku sosial yang baik juga termasuk dalam perintah-Nya. 

Juga larangan, tidak hanya terbatas pada aktivitas meminum khamr, berbuat zina, atau memakan daging babi, tapi segala sesuatu yang mungkin 'merugikan' orang lain juga termasuk dalam larangan-Nya. 

Oleh karena itu, setiap manusia yang berbuat baik sebagaimana fungsinya selaku 'abd (hamba) dan khalifah (penerus, pengganti), serta selalu memperbaiki hubungannya dengan Allah SWT dan sesama manusia, tentulah ia termasuk dalam golongan orang sholeh.

Selanjutnya adalah soal ukuran kesholehan seseorang. Skalanya tidaklah kaku yang lantas dapat diketahui secara nyata sebagaimana ukuran tinggi atau berat badan. 

Anak di usia remaja awal tidak bisa dipaksakan untuk berbuat baik sebagaimana remaja akhir atau bahkan dewasa. Juga soal profesi, anak yang melanjutkan kuliah akan berbeda tuntutannya dengan sebayanya yang sudah bekerja. 

Termasuk juga lingkungan sekitar yang acapkali memberi warna dalam 'ukuran' kesholehan' seseorang. Seorang guru biasanya anaknya akan menjadi guru, begitu pula dokter, polisi, seniman, politisi, dan lain sebagainya. 

Bahkan kondisi fisik orang tua, wujud mereka yang telah tiada, perbedaan agama, juga turut menjadi faktor penting. Bukankah setiap anak tetaplah menjadi anak berapapun usianya dan masih adakah orang tuanya? Dan bukankah setiap anak harus selalu berbakti kepada orang tuanya meski berbeda agama? Ya. Karena kerihoan Allah SWT terdapat pada keridhoan orang tua.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline