Lihat ke Halaman Asli

Sugiyanto Hadi Prayitno

TERVERIFIKASI

Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pulang Kampung, Pangandaran, dan Satpam

Diperbarui: 18 April 2018   21:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

pantai barat pangandaran (pergidulu.com)

Pulang kampung, itu ungkapan dengan banyak tafsir. Tergantung kapan ucapan itu dilontarkan, saat lebaran, tahun ajaran baru, kondisi ekonomis sulit, atau ketika ada peristiwa penting di kampung. Namun yang terbanyak dan lumrah diucapkan ya menjelang Lebaran.

Pulang kampung berarti singgah kembali pada kampung halaman. Dan itu dapat berarti menggugah kenangan, menyusuri jejak masa silam, menengok apa yang pernah ditinggalkan, menemui sosok yang pernah akrab bahkan terkasih, dan banyak lagi. Pulang kampung memberi banyak makna.

Karena alasan pulang kampung semua moda transportasi padat, penuh, berjubel. Darat laut, udara; dan dari maupun ke tujuan manapun, tidak berbeda.  

*

Satu hal lain, tiap orang rasanya punya kampung halaman masing-masing. Biasanya di desa, jauh, terpencil. Itu tempat tinggal dulu sewaktu anak-anak, mungkin sampai remaja, sebelum kemudian orang tua pindah ke kota, atau mencari kerja. Namun bisa pula kampung halaman hanya rumah kakek-nenek dan keluarga besar yang makin lama makin dilupakan.

Desa itu belasan atau puluhan tahun kemudian sudah menjadi kota kecil, yang ramai dan maju. Sarana-prasarana perhubungan makin lengkap dan mudah. Bersamaan dengan itu matapencaharian warga berubah, pendatang dari daerah dan provinsi lain banyak, dan pola hubungan pun ikut berubah. Gaya hidup tak berbeda lagi dengan penduduk kota-kota besar.

Namun membicarakan mengenai kampung-halaman tetap saja menarik dan mengasyikkan.  Lebaran tinggal dekat, orang pulang kampung untuk nyekar, menengok makam orang tua dan leluhur, dan ada pula yang merayakannya dengan 'nyadran' di sana.

"Kalau kita masih di kampung dapat jodoh pun orang setempat, tetangga, bahkan masih bersaudara. Maka seumur-umur bakal tinggal di kampung, tidak mengenal dunia luar. . . !" ucap Pak Edi Murdowo seraya menunjukkan foto-fotonya saat sebulan lalu pulang kampung untuk menengok ibunya yang sakit-sakitan.

"Kelahiran mana, Pak?" tanya Mas Bejo.

"Pada sebuah kecamatan berhawa sejuk, di kaki Gunung Merbabu. . . . !" jawab Pak Edi Mur seraya mengenang kawasan itu pertengahan tahun 1960-an. Masih sepi, jalanan sempit dan kerliku-liku, sehingga seringkali terjadi kecelakaan yang membawa banyak korban jiwa. "Kalau sampeyan dari Pacitan ke Semarang pasti lewat daerah itu!"

"Ya, saya hafal daerah itu. Sering masuk koran lokal karena peristiwa kecelakaan. . . ."

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline