Lihat ke Halaman Asli

Sugiyanto Hadi Prayitno

TERVERIFIKASI

Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

(Jangan) Menulis Opini dengan Prinsip Ekonomi

Diperbarui: 17 Juni 2015   15:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14180390731758089407

Ilustrasi (Sumber:Kompas.com)

Prinsip ekonomi itu penting dalam hidup ini. Bukan untuk pelit, apalagi kikir berbagi, tapi untuk hemat dan penuh perhitungan. Hidup boros sebaliknya memang menyenangkan, namun bila kemudian bangkrut akan jauh tidak mengenakan. Makanya berhematlah, jangan boros, gunakan prinsip ekonomi.

Prinsip ekonomi, sekedar mengingatkan, bukan dengan modal sekecil-kecilnya mendapatkan hasil yang sebesar-besarnya. Itu maling, rampok, atau koruptor. Pengertian yang benar, dengan modal sekecil-kecilnya mendapatkan hasil tertentu, dan dengan modal tertentu mendapatkan hasil sebesar-besarnya.

Lalu prinsip ekonomi apa yang ‘jangan' kita gunakan dalam menulis opini? Menulis opini dengan prinsip ekonomi yang salah: dengan data-fakta-peristiwa sesedikit mungkin ingin menulis opini dengan kesimpulan yang heboh, spektakuler, dan kalau perlu mengguncang dunia....! Jangan dilakukan!

Menemukan gagasan baru

Prinsip tulisan opini yaitu menemukan gagasan baru, mungkin juga hal-hal yang tersembunyi, dari rangkaian peristiwa yang tidak segera disadari oleh masyarakat hal-hal apa dibalik peristiwa itu. Penulis opini kadang sekedar menafsirkan sesuatu yang tersembunyi, atau memang disembunyikan. Opini yang tepat-proporsional-mencerdaskan sangat berguna bagi masyarakat dalam membantu menentukan bersikap, berpendapat, dan bertindak.

Misalnya dalam kaitan dengan kenaikan harga bbm, dan kemudian demo yang dilakukan mahasiswa. Penulis opini tidak boleh apriori, dan apalagi hanya menggunakan data-fakta terbatas, untuk sampai pada kesimpulan pro atau kontra. Karena hal itu tidak membuat jelas dan cerdas, tetapi sebaliknya membuat kabur subsansi persoalan, dan dampaknya sangat berbahaya.

Contoh lain, artikel opini yang menempelkan predikat ini dan itu pada negeri ini. Bagi yang sering berkutat dengan judul pasti terganggu bila seorang penulis membuat judul: ‘Indonesia Negara yang paling.....', padahal si penulis tidak mengggunakan data akurat misalnya dari hasil penelitian suatu lembaga internasional. Pembandingnya pun sangat terbatas. Bahkan penulis mungkin belum/tidak punya pengetahuan dan atau pengalaman internasional untuk sampai pada judul/kesimpulan itu.

Dengan judul yang sama namun sifatnya reportase tentu beda rasa dan nilainya. Misal judul ‘Orang Indonesia suka ngambek'. Penulis mengamati dan membandingkan lingkup kecil di kampus, atau lingkungan orang-orang kita di suatu negara lain, yang dialaminya dalam keseharian.

Oleh karena itu alangkah bijak untuk sangat berhati-hati dalam beropini Meski sekedar jurnalisme warga, obyektivitas dan berpikir positif selayaknya dikedepankan

Menentukan Topik
Topik tulisan yang menarik dan bernilai ‘jual' harus dicari dengan kerja keras, meski mungkin sambil duduk santai. Otak berputar cepat, sementara mata mengawasi layar televisi sambil sesekali memindah channel. Atau mencermati berita-berita dari media online.

Jika di kantor, kita mendapatkan masukan dari obrolan dengan pimpinan atau sejawat soal tuntutan target kerja misalnya. Kalau di rumah cerita isteri-anak soal keseharian mereka pantas didengarkan pula.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline