Lihat ke Halaman Asli

Calon Tunggal, Demokratiskah?

Diperbarui: 11 Maret 2018   23:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Munculnya banyak calon tunggal dalam pilkada serentak tahun 2018 di beberapa daerah memunculkan banyak pertanyaan termasuk dalam diri saya.  Antara lain mengapa calon tunggal ini muncul dalam kontestasi pilkada dan apa penyebabnya?  

Apakah memang hanya ada satu pasangan calon yang berminat maju atau karena tak ada kesempatan atau ruang bagi pasangan calon untuk maju dalam Pilkada?  Serta pertanyaan lanjutannya apakah calon tunggal dalam konteks pilkada ini masih dapat dinilai sebagai kontestasi politik yang demokratis atau tidak?

Dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 kemunculan calon tunggal disebabkan karena hanya ada satu pasangan calon yang mendaftar dan memenuhi syarat.  Sebab lainnya dikarenakan ada dua pasangan calon yang mendaftar dan setelah diverifikasi ternyata hanya satu pasangan calon yang memenuhi syarat serta setelah diberikan perpanjangan pendaftaran tak ada alagi pasangan calon yang mendaftar atau ada yang mendaftar lagi ternyata tidak memenuhi syarat sehingga muncullah calon tunggal.  

Penyebab lainnya adalah setelah penetapan pasangan calaon , ternyata ada pasangan calon yang berhalangan tetap atau dikenakan sangsi pembatalan sehinga hanya satu pasangan calon yang terus maju sampai ke tahapan pemilihan karena pasangan calon yang berhalangan tetap dan atau dikenakan sangsi tersebut tak dapat diganti.     

Mengapa calon tunggal muncul?

Ada beberapa penyebab yang dapat memunculkan pasangan calon tunggal dalam pilkada ini.  Banyak para pengamat yang memberikan pendapat bahwa salah satu penyebab kemunculan calon tunggal ini antara lain disebabkan mahalnya biaya politik yang harus ditanggung oleh kandidat pasangan calon. Semakin mahalnya biaya politik termasuk mahar kepada partai menyebabkan hanya segelintir tokoh saja yang mau dan mampu untuk menyediakan biaya politik tersebut, tokoh yang berniat untu maju dalam pilkada akan berpikir berulangkali untuk maju apabila melihat besarnya biaya politik seperti sekarang ini.  

Hanya calon yang memiliki sumberdaya uang dalam jumlah besar yang bisa maju dan bahkan dalam beberapa kasus hampir memborong semua partai politik untuk dijadikan perahu ke pilkada, tentu bisa dipastikan tak ada kesempatan bagi calon lainnya untuk maju.

Fakta menunjukkan dari sekitar 12 pasangan calon tunggal dalam pilkada 2018 sebagian besar adalah petahana (incumben), ini tentu dapat kita pahahami karena petahana mempunyai sumberdaya yang besar dan energi yang besar pula untuk melakukan itu.  Dengan kekuasaan dan kewenangan serta sumberdaya melimpah yang dimiliki para petahana ini mereka bisa "memaksa" partai-partai yang ada di DPRD untuk mendukung dan mengusung petahana untuk maju lagi dalam kontestasi berikutnya.  

Penyebab lainnya adalah keengganan tokoh di daerah untuk maju dalam pilkada karena alasan semakin beratnya persyaratan antara lain kewajiban mundur bagi pejabat publik, PNS/ ASN, anggota DPR, DPRD maupun DPD serta semakin beratnya syarat dukungan bagi calon perseorangan.  

Untuk calon perseorangan syarat dukungan pada kisaran 6,5 persen sampai dengan 10 persen yang tersebar minimal lebih di 50 persen wilayah, naik dibandingkan sebelumnya yang mematok angka dukungan pada kisaran 3 persen sampai dengan 6,5 persen.  Beberapa hal inilah yang disinyalir ikut menjadi pemicu kemunculan calon tunggal yang cukup banyak dalam Pilkada 2018.

Disisi regulasi sebenarnya perlu juga dicermati, karena dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilhan Gubernur, Walikota dan Bupati belum mengatur misalnya tentang pembatasan maksimal dukungan bagi pasangan calon sehingga memberikan ruang bagi munculnya pasangan calon lain atau munculnya calon alternatif. Yang diatur di sana hanya batas minimal syarat dukungan pencalonan yaitu 20 persen kursi DPRD atau 25 persen suara sah pemilihan legislatif di daerah.  

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline