Lihat ke Halaman Asli

aldis

Arsitektur Enterprise

Coretax dan Deepseek : Antara Tantangan dan Inspirasi

Diperbarui: 5 September 2025   04:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Inovasi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Jcomp

Malam itu, di pojok  kedai kopi kecil yang berbau robusta dan bising oleh suara mesin espresso, saya duduk bersama seorang teman, seorang penggila teknologi yang matanya berbinar saat bicara soal kode dan server. Di antara asap kopi dan denting cangkir, kami terjebak dalam diskusi panas tentang Coretax dan DeepSeek, dua nama yang kini ramai di media sosial X. Coretax, sistem perpajakan digital milik Direktorat Jenderal Pajak (DJP), disebut menelan biaya Rp 1,2 triliun---angka yang seperti gunung emas di tengah lautan. DeepSeek, chatbot AI dari China, konon hanya menghabiskan 6 juta dolar AS, atau Rp 97,8 miliar. Teman saya, dengan nada penuh semangat, menuding Coretax sebagai pemborosan. Saya, sebagai pakar IT yang mencoba melihat dari sudut lifecycle proyek software, memilih posisi moderat. Bukan untuk membela, tapi untuk memahami. Seperti ombak yang datang dan pergi, saya ingin melihat gelombang ini dari berbagai sisi.

Bayangkan, saudara-saudara, Rp 1,2 triliun untuk Coretax. Angka itu seperti bintang yang terlalu jauh untuk disentuh, namun nyata dalam laporan Kompas.com. Sistem ini, dikembangkan oleh konsorsium LG CNS-Qualysoft dari Korea Selatan dan Australia, ditetapkan sebagai pemenang tender pada 2020 melalui Keputusan Menteri Keuangan Nomor 549/KMK.03/2020. Tujuannya mulia: mereformasi sistem perpajakan yang usang sejak 2002, sesuai Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2018. Coretax dirancang untuk mengintegrasikan basis data nasional, mempermudah pendaftaran NPWP, pelaporan SPT, hingga pembayaran pajak. Tapi, seperti pohon tinggi dengan akar rapuh, sistem ini sering goyah. Warganet di X mengeluh: validasi wajah gagal, unggah file XML macet, OTP tak kunjung datang. Bahkan, ada celah keamanan yang memungkinkan wajib pajak membuat NPWP tanpa verifikasi ketat. "Berapa T abis untuk ginian doang?" tulis akun @bak****, dengan nada seperti teriakan di tengah pasar malam.

Teman saya, dengan penuh semangat, membandingkan Coretax dengan DeepSeek. "Lihat DeepSeek!" katanya, sambil menunjuk layar ponselnya. "Hanya Rp 97,8 miliar, dibangun dalam dua bulan dengan chip Nvidia H800, dan bisa saingi ChatGPT!" DeepSeek memang seperti angin sepoi yang membawa keajaiban. Chatbot ini, menurut Reuters, dikembangkan dengan biaya rendah namun mampu menjawab pertanyaan kompleks, bahkan bersaing dengan ChatGPT yang konon menelan ratusan juta dolar. Tapi, seperti kabut di pagi hari, ada keraguan. Analis Bernstein, Stacy Rasgon, menyebut biaya 6 juta dolar hanya untuk daya komputasi, belum termasuk riset, tim, atau infrastruktur. Biaya sebenarnya untuk model V3 DeepSeek mungkin lebih tinggi, dan model R1 yang dirilis Januari 2025 masih menyimpan misteri. Meski begitu, DeepSeek tetap jadi simbol efisiensi China: inovasi canggih dengan biaya minimal.

Sebagai peneliti dan praktisi IT, saya memandang ini melalui lensa lifecycle proyek software: perencanaan, pengembangan, implementasi, dan pemeliharaan. Coretax bukan sekadar aplikasi; ia adalah sistem terpadu yang harus berintegrasi dengan data nasional, regulasi pajak yang rumit, dan kebutuhan keamanan data pribadi. Tahap perencanaan saja, dengan tender yang melibatkan konsorsium asing, sudah menunjukkan kompleksitas. Pengembangan Coretax, yang menggunakan solusi Commercial Off The Shelf (COTS), mungkin membutuhkan adaptasi besar untuk konteks Indonesia---sesuatu yang sering kali meningkatkan biaya. Implementasinya juga tak mudah: sistem harus menangani jutaan wajib pajak, dari Sabang sampai Merauke, dengan infrastruktur server yang andal dan keamanan yang ketat. Tapi di tahap ini, Coretax goyah. Kegagalan validasi wajah, masalah unggah file, dan celah keamanan menunjukkan bahwa tahap pengujian dan quality assurance mungkin kurang matang. DJP, melalui Direktur Penyuluhan Dwi Astuti, mengakui ini dan telah melakukan perbaikan, seperti tertuang dalam keterangan KT-05/2025. Panduan penggunaan ada di https://pajak.go.id/reformdjp/coretax/, tapi apakah ini cukup untuk menebus Rp 1,2 triliun?

Teman saya bersikeras: "DeepSeek jauh lebih efisien!" Saya setuju, tapi dengan catatan. DeepSeek adalah proyek AI dengan fokus sempit: chatbot dengan model bahasa. Lifecycle-nya lebih sederhana. Perencanaan dan pengembangan AI memang mahal di tahap riset, tapi China punya ekosistem kuat: talenta terdidik, investasi riset masif, dan kebijakan yang mendukung. Implementasi DeepSeek juga lebih fleksibel, tak terikat regulasi ketat seperti Coretax. Tapi, saya bilang pada teman saya, "Jangan lupa, DeepSeek tak harus menangani data pajak jutaan orang atau mematuhi aturan pemerintah." Biaya rendah DeepSeek mungkin nyata, tapi konteksnya berbeda. Coretax, meski mahal, berhadapan dengan tantangan integrasi sistem nasional yang jauh lebih kompleks.

Mengapa cerita ini membuat hati saya seperti ombak yang bergolak? Karena, kita semua tahu bahwa efisiensi bukan hanya soal biaya awal, tapi bagaimana proyek dikelola dari hulu ke hilir. Coretax mungkin mahal karena tender asing dan birokrasi yang rumit. Tapi, bayangkan jika Rp 1,2 triliun itu dialokasikan untuk talenta lokal. Berapa banyak insinyur IT yang bisa dilatih? Berapa startup teknologi yang bisa didanai? Indonesia punya anak-anak brilian di Bandung, Yogyakarta, makassar atau Surabaya. Tapi seringkali, mereka terhambat oleh sistem yang lebih suka impor daripada kembangkan sendiri. DeepSeek mengajarkan kita bahwa inovasi tak selalu butuh gunungan uang, tapi butuh ekosistem yang mendukung dan manajemen proyek yang cerdas.

Jangan salah paham, saudara-saudara. Coretax bukan tanpa harapan. Ia adalah langkah besar menuju perpajakan modern. Tanpa Coretax, kita mungkin masih terjebak pada sistem lama yang lebih buruk. DJP sudah berupaya memperbaiki, dari pendaftaran hingga pengelolaan dokumen. DeepSeek? Klaim biaya rendahnya mungkin dilebih-lebihkan, seperti cerita nelayan tentang ikan raksasa yang lolos dari jaring. Tapi perbandingan ini mengajak kita berpikir: kita perlu transparansi. Di X, warganet seperti @NgkongRoses menulis: "Apa kabar Coretax yang biayanya lebih mahal dari ChatGPT dan Deepseek? KPK nggak mau ngelirik itu?" Dan @KangManto123 membandingkan: "ChatGPT: 1 Triliun, Deepseek: 97 Miliar, Coretax: 1,3 Triliun. Indonesia jadi pemenang." Suara mereka seperti angin kencang, mengingatkan bahwa pajak adalah uang rakyat.

Di tengah diskusi kami, saya teringat petuah sederhana: "Jika ingin menangkap ikan besar, jangan buang uang untuk jaring emas. Buatlah jaring kuat dengan tangan cerdas." Indonesia perlu itu: keberanian untuk inovasi lokal. Luhut Panjaitan pernah bilang di CNBC Indonesia bahwa RI ingin buat aplikasi mirip DeepSeek. Tapi jangan sampai seperti Coretax: mahal tapi bermasalah. Dari lensa lifecycle proyek, saya melihat Coretax perlu pengujian lebih ketat dan pemeliharaan berkelanjutan. Kita punya potensi, tapi butuh komitmen: transparansi dalam tender, investasi pada talenta lokal, dan manajemen proyek yang efisien.

Saat kopi kami habis, dan malam semakin larut, saya berkata pada teman saya, "Coretax dan DeepSeek adalah cermin. Yang satu menunjukkan tantangan kita, yang lain inspirasinya." Mari kita bangun bangsa seperti menenun jaring: dengan hati, bukan hanya uang. Dari meja diskusi ini, saya berharap suara kita bergema: bangkitlah, Indonesia, dengan kecerdasan dan kejujuran.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline