Lihat ke Halaman Asli

Subarkah

Freelance

Miskin Tak Viral dan Bias Empati Kita

Diperbarui: 8 Agustus 2025   22:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto oleh Sarim Naqvi di Unsplash 

Artikel reflektif yang mengkritisi bias empati masyarakat yang hanya muncul pada kemiskinan dengan narasi atau visual dramatis, serta mengajak pembaca meninjau ulang cara memberi bantuan agar lebih adil dan membangun kemandirian.

Di balik hiruk pikuk berita dan arus unggahan media sosial, ada kemiskinan yang berjalan tanpa suara. Kemiskinan ini tidak muncul dalam foto yang dibagikan ribuan kali, tidak dibingkai oleh narasi menyentuh, dan tidak mengundang gelombang donasi instan. Namun mereka tetap ada, menjalani hari dengan beban yang sama beratnya seperti mereka yang viral. Pertanyaannya, apakah kita benar-benar menolong karena melihat kebutuhan, atau kita hanya tergerak ketika cerita itu dikemas dengan indah?

Di tengah derasnya arus informasi, empati sering kali bekerja seperti kamera. Ia baru terarah ketika ada cahaya yang indah. Kisah kemiskinan yang dianggap layak dibantu seolah harus memiliki latar yang dramatis, foto yang memancing air mata, atau narasi yang disusun dengan apik. Padahal di luar layar ponsel kita ada ribuan wajah yang tidak masuk bingkai dan menjalani ketidakadilan sunyi tanpa pernah menyentuh algoritma media sosial.

Fenomena ini menunjukkan adanya bias seleksi yang halus namun mematikan. Hanya kemiskinan yang tampil estetis yang berpeluang mendapatkan belas kasih. Sisanya tenggelam, tak terdengar, tak terlihat. Pertanyaannya, apakah kita menolong karena mereka membutuhkan atau karena kisah mereka berhasil menggerakkan hati lewat estetika yang dikurasi?


Masyarakat modern hidup dalam banjir citra. Setiap hari mata kita dijejali foto, video, dan tulisan yang berlomba memperebutkan perhatian. Dalam konteks kemiskinan, ini melahirkan apa yang dapat disebut sebagai estetika kemiskinan. Gambaran gubuk reyot yang kontras dengan pakaian sekolah rapi, anak kecil yang tersenyum di tengah lumpur, atau lansia renta dengan tatapan kosong menjadi imaji yang memancing simpati instan.

Namun di balik estetika ini, ada pertanyaan yang jarang diajukan. Apakah mereka yang tidak terekam kamera kurang layak mendapat bantuan? Apakah wajah tanpa cerita dramatis berarti hidupnya baik-baik saja?


Bayangkan seorang buruh harian yang bekerja di proyek. Debu pasir mengepul di udara, truk dan alat berat berlalu-lalang, peluh bercampur panas matahari. Di sela istirahat, ia meneguk minuman dingin untuk menghapus haus. Ia tidak punya kisah viral, tidak ada yang memotretnya, dan tidak ada yang menulis kisahnya di media sosial. Namun kebutuhan hidupnya tetap mendesak, anaknya tetap harus sekolah, dan biaya kontrakan tetap harus dibayar.

Kemiskinan seperti ini sering luput dari radar empati digital. Tidak ada drama visual dan tidak ada narasi yang menjual untuk dikampanyekan. Padahal mereka hidup di tepi ketahanan finansial dan mudah sekali tergelincir ke jurang yang lebih dalam.


Fenomena ini memperlihatkan bahwa empati publik cenderung bersifat reaktif, bukan proaktif. Masyarakat menunggu ada yang mengemas kemiskinan menjadi kisah yang layak viral sebelum bertindak. Dalam konteks ini, bantuan menjadi bersyarat, bukan karena kebutuhan nyata tetapi karena kebutuhan akan narasi.

Lebih jauh, hal ini berkelindan dengan masalah struktural. Banyak orang kaya memberi dengan pola yang tidak mendidik, yaitu memberi tanpa mendorong penerima untuk membangun keterampilan atau kemandirian. Penerima bantuan menjadi pasif, merasa layak menerima hanya karena kekurangan yang mereka miliki tanpa kontribusi timbal balik. Akhirnya kemiskinan menjadi lingkaran yang tak terputus, di mana penerima tetap miskin karena tidak memiliki motivasi untuk menjadi produktif.


Dalam pengalaman banyak orang yang hidup di dua dunia, kemewahan dan kekurangan, ada satu hal yang terlihat jelas. Kondisi miskin menjadi penyeimbang bagi yang kaya. Orang kaya cenderung memberi kepada mereka yang benar-benar tidak mampu, tetapi sering mengharapkan adanya sesuatu yang ditukar seperti waktu, keterampilan, atau usaha.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline