Lihat ke Halaman Asli

Suaib Prawono

Pekerja sosial di jaringan GUSDURian

Berburuk Sangka

Diperbarui: 3 April 2024   05:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gambar Ilustrasi (Dok. Pribadi)

Alkisah, seorang ulama memilih kembali ke kampung halamannya setelah puluhan tahun menempuh pendidikan di timur tengah. Di kampung itu, ia tidak mendirikan pesantren, melainkan aktif memberi pengajian di sebuah masjid desa.

Pengajian yang dihelat usai salat magrib dan dikuti oleh kalangan remaja, anak muda dan orangtua itu, boleh dibilang sudah berlangsung lama. Bermula saat ulama tersebut memilih menetap di kampung itu.

Singkat cerita, sudah dua tahun pengajian itu berlangsung, dan sudah dua tahun pula larangan berburuk sangka menjadi tema pengajian, sehingga membuat sebagian jamaah masjid jenuh.

"Andaikan bukan karena menanti pahala salat jamaah isya, mungkin sebagian jamaah sudah pulang," kata salah seorang jamah.

Hingga suatu ketika, rasa jenuh itu terjawab saat salah seorang pemuda memberanikan menyampaikan pertanyaan. "Mohon maaf kiai, sebelum pengajian dengan tema menahun ini dilanjutkan, saya mau bertanya," kata pemuda itu.

Setelah mendapat restu dari kiai, ia pun segera mengutarakan pertanyaannya. "Sudah dua tahun tema larangan berburuk sangka ini diulang-ulang. Apa tidak ada tema lain? Padahal sejauh pengamatan saya, kitab pengajian ini berisi banyak bab, salah satunya adalah anjuran bersedekah, menjaga silaturahmi dan lainya," kata pemuda itu.

Mendengar pertanyaan itu, kiai kampung itu pun tersenyum dan berkata, "Bagaimana mungkin pengajian ini berpindah tema, sementara perilaku sebagian dari kalian masih suka berburuk sangka," ujarnya.

Demi menjaga marwah pengajian, dirinya tak ingin kitab pengajian tersebut hanya sekadar menjadi bacaan, sebab berkah ilmu menurutnya terletak pada pengamalannya. Demikian pula, sedekah dan silaturahmi tidak akan berberkah, jika perilaku berburuk sangka masih terus terbiarkah hidup dalam hati dan pikiran.

Tentu saja, kiai tersebut memahami betul karakter dan watak sebagian jamaahnya, karena hampir setiap hari sebagian dari mereka mendatangi rumah beliau. Selain meminta pendapat, menyampaikan keluhan, juga melaporkan sesuatu yang tidak jarang disertai dengan perilaku sinis terhadap orang lain. Celakanya, sikap tersebut lahir atas dasar prasangka yang terbangun di kepalanya.

Meski pak kiai paham betul, bahwasanya prasangka tidak bisa dihilangkan karena ia adalah bawaan alamiah setiap manusia, namun upaya mengenali prasangka buruk dan mengendalikannya perlu dibiasakan, agar kebencian terhadap sesama tidak semakin menebal.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline