Lihat ke Halaman Asli

Esensi dalam beragama

Diperbarui: 1 Maret 2019   00:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pada hakikatnya, setiap manusia diberkahi dengan akal yang membuatnya mampu untuk  mempertanyakan, menganalisa, dan mempelajari berbagai hal yang terjadi di sekelilingnya. Agama-agama setelah Nabi Ibrahim, termasuk Islam, begitu menekankan pentingnya mempergunakan akal untuk berpikir dan menghadapi berbagai kejadian dan persoalan hidup. Hal ini terbukti dengan banyaknya ayat yang menekankan pentingnya mempergunakan akal untuk berpikir di dalam Al-Quran.

Ayat pertama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad adalah "Iqra" yang secara literal artinya membaca. Membaca merupakan kegiatan yang sangat berkaitan dengan akal. Membaca disini mempunya makna lebih dari sekedar membaca tulisan, apalagi mengingat Nabi Muhammad saat turunnya wahyu tidak bisa membaca maupun menulis. Membaca disini, mempunyai arti yang lebih luas, yakni merasakan dan memikirkan sehingga manusia mampu memaknai berbagai hal yang terjadi di sekelilingnya dengan mempergunakan segenap indra yang dimiliki.

Dalam konsep keagamaan, tubuh manusia tak ayal seperti sebuah 'kendaraan' bagi 'ruh' untuk melakukan perjalanan. Tubuh manusia dilengkapi dengan berbagai indra yang memungkinkan manusia untuk merasakan sakit dan nikmat - secara fisik, mental, maupun emosional. 

Menariknya, kehadiran fisik yang menjadi 'kendaraan' untuk melalui perjalanan 'ruh' ini pula lah yang menjadi ujian bagi manusia. Disinilah akal kemudian berperan untuk kembali meluruskan fungsi utama tubuh sebagai 'kendaraan' untuk mencapai suatu tujuan dan bukan sebagai 'alat' untuk sekedar mengejar kenikmatan duniawi semata. 

Benang Merah

Ada satu benang merah pada situasi ketika tiga agama penerus Nabi Ibrahim turun (Yahudi, Kristen, dan Islam). Ajaran yang dibawa oleh Nabi Musa, Nabi Isa, dan Nabi Muhammad turun di tengah-tengah masyarakat dengan tingkat kesenjangan dan kesetaraan sosial antar golongan (dan gender) yang tinggi. 

Ajaran masing-masing Nabi menekankan pentingnya berbagi dengan sesama dan menciptakan rasa keadilan -- mengurangi tendensi manusia untuk terus memupuk egonya yang menjadikannya merasa paling tinggi atau lebih tinggi dibandingkan manusia lainnya. 

Manusia memiliki tendensi untuk memenuhi hasrat keinginannya -- dalam Islam dikenal dengan istilah 'nafsu'. Kehadiran akal disini adalah penyeimbang 'nafsu' agar manusia tidak kehilangan kendali atas 'kendaraannya'. Tanpa akal, alih-alih mengingat tujuan akhir, bisa-bisa manusia tersesat dan lupa destinasi utama dari perjalanannya. 

Untuk dapat mencapai tujuan akhir, manusia harus mampu mengalahkan egonya -- ego untuk merasa 'paling atas' dalam hal apapun juga. Pada dasarnya, kesetaraan antar golongan dan adanya rasa keadilan sosial dalam kehidupan bermasyarakat merupakan sebuah hasil dan pertanda bahwa manusia yang hidup di dalam masyarakat tersebut telah mampu 'mengalahkan' egonya demi kesejahteraan dan kemaslahatan bersama -- dalam Islam hal ini dikenal dengan istilah masyarakat 'madani'.

Tuhan yang maha besar tidak membutuhkan manusia, manusialah yang membutuhkan ajaran Tuhan untuk keselamatannya sendiri.

Terlupakannya esensi dalam ritual

Turunnya masing-masing ajaran kepada masing-masing Nabi diikuti oleh bentuk-bentuk ritual dan ibadah yang dimaksudkan untuk mengajarkan manusia mengendalikan 'ego'-nya. Dalam Islam, hal ini termasuk solat, zakat, dan puasa. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline