Lihat ke Halaman Asli

Zulfikar Akbar

TERVERIFIKASI

Praktisi Media

Karena PKI Bukan yang Terburuk

Diperbarui: 22 September 2017   21:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Seburuk-buruk warisan itu adalah warisan kebencian, dendam, dan ketidakadilan - Foto: Zulfikar Akbar

Bulan September sedang menuju ke hari-hari terakhirnya. Di negeri ini, cerita Bulan September sendiri tidaklah benar-benar berakhir. Bulan ini sudah datang di tahun lalu, dan akan datang lagi di tahun-tahun mendatang. Tidak berhenti, sebab keriuhan di negeri ini pun enggan berhenti.

Jangan bilang ini bulan PKI. Sebab PKI sendiri hanya organisasi. Lahir dari sekumpulan orang yang memiliki mimpi, dan yang memiliki mimpi yang sama itu lantas menyatukan diri. Mereka sempat memusuhi, mereka pun lantas dimusuhi. Saling bermusuhan itu memang akhirnya menjadi samudera tak bertepi, sama halnya alasan untuk saling benci pun tak mengenal batas akhir.

Kebencian itu lantas dipelihara. Permusuhan pun dirawat. Sementara alasan untuk saling benci dan bermusuhan pun diabadikan. Kenapa? Karena akhirnya banyak yang mengimani, jika mengabadikan kebencian dan permusuhan sama artinya mengabadikan sesuatu; ideologi lain hingga aroma sebuah negara lain-lain dari diimpikan orang-orang PKI itu.

PKI bukan lagi dilihat sebagai organisasi. Ya, bagaimana bisa dikatakan organisasi ada jika orang-orangnya tak ada. Rumah tangga saja yang merupakan organisasi paling kecil tak dapat terbentuk tanpa ada seorang lelaki dan seorang perempuan. Lha, bagaimana meneriakkan sebuah organisasi besar ada jika orang-orangnya tak ada.

Ada mantan pemuka negeri ini hingga mantan petinggi serdadu sesumbar ada figur-figur yang menggerakkan organisasi itu. Sayangnya mereka yang sesumbar itu pun tak mampu menunjuk batang hidung orang yang mereka posisikan sebagai momok itu.

Padahal gampang saja bukan, jika memang ada, silakan saja tunjuk secara gamblang, lugas, dan jika perlu kerahkan aparat negara terkait untuk bekerja sesuai kewenangannya; ringkus mereka.

Sayangnya yang sesumbar terlalu gemar sesumbar, seolah tak ada yang lebih penting dari membuka mulut lebar-lebar. Yang mengagitasi pun terlalu gemar bermain agitasi, hingga lupa jika menelan sesuatu yang basi hanya membuat mereka memuntahkan hal-hal yang jauh lebih basi.

Ada kesan, seolah PKI adalah sebuah gambaran sesuatu yang paling keji, sehingga tak ada kekejian lain lagi selain ini. PKI dijadikan semacam model, bahwa organisasi inilah paling berbahaya, paling dimusuhi Tuhan, hingga anak-anak pun direcoki. Alhasil, saat anak-anak saling memaki pun lantas meluncur kalimat makian antar mereka sendiri, "Dasar PKI!"

Padahal anak-anak yang memaki PKI tadi tidaklah mengenal Sneevliet. Mereka tidak mengenal Musso, tidak pernah diperkenalkan siapa Dipa Nusantara Aidit, tak ada yang menunjukkan siapa gerangan Untung Sutopo. Bahkan, tak ada yang bercerita secara lugas kepada anak-anak itu siapa H.O.S Tjokroaminoto, lha kok bisa beliau memiliki murid seperti Soekarno, Musso, hingga Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo.

Yang menyeruak adalah pendidikan kebencian dan ajaran permusuhan. Maka itu saat anak-anak bermusuhan pun mereka saling melempar tuduhan "pe-ka-i" kepada anak lain yang mereka musuhi. Cukup hanya dengan sekadar tahu, pe-ka-i itulah yang menjadi simbol kekejaman paling kejam, keburukan paling buruk, dan kehinaan paling hina.

Lantas di situlah, mereka yang memiliki kasta keburukan yang sejatinya di atas pe-ka-i tadi dapat menghibur diri sendiri; "Ah, masih ada PKI yang lebih buruk lagi."

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline