Lihat ke Halaman Asli

Zulfikar Akbar

TERVERIFIKASI

Praktisi Media

Soal Prabowo dan Gaji Wartawan

Diperbarui: 20 Agustus 2017   13:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Wartawan terbiasa mengkritik, dan terbiasa menerima kritik (www.made-in-italy.com

Wartawan itu bergaji kecil, dan untuk dapat ke mall saja sulit. Kira-kira begitulah kalimat dari Prabowo Subianto, pimpinan salah satu partai politik, yang menggelitik dan membuat banyak mata mendelik.

Sebagai salah satu kuli tinta (ingat, kuli), sejujurnya sempat terbetik di benak saya, lha kok "bos parpol" ini pongah sekali? Jika membandingkan wartawan dengan kekayaannya, jelas tak berbanding, bisa diibaratkan rengginang dengan pemilik perusahaan biskuit Khong Guan.

Ya, gaji wartawan tertakar dan terkadang naik setelah sekian abad sejak ia bergabung dengan salah satu media. Bedalah dengan yang memiliki usaha besar yang konon bisa menggaji besar orang-orang, belum lagi karena punya partai politik. Toh, parpol pun bisa menjadi sumber uang juga bukan? Ah ini mungkin buruk sangka saya saja.

Meski sempat "menghakimi" Prabowo, tapi saya mencoba untuk tidak membantah begitu saja. Sebab realitanya, memang banyak perusahaan media tak mampu membayar wartawannya dengan ideal.

Itu di perusahaan media televisi misalnya, meski di layar kaca acap memamerkan gaya hidup "wah" namun tak sedikit wartawannya bergaji hanya Rp 3 juta atau bahkan lebih kecil.

Di media cetak? Lebih-lebih lagi. Bahkan saya sendiri pernah ditawarkan mengurus salah satu koran daerah tanpa gaji bulanan, kecuali disarankan untuk "pendekatan" ke pemerintah daerah dan perusahaan-perusahaan daerah.

Lha, kok bisa? Faktanya memang banyak perusahaan media yang begitu, yang memiliki sudut pandang bahwa kas perusahaan besar dan kas Pemda, kas politikus, hingga kas desa, dianggap sebagai kas mereka.

Syukurlah saya tak terseret media seperti itu. Di media tempat saya bekerja sekarang, gaji ditawarkan terbilang masih jauh lebih baik daripada cerita televisi atau koran daerah di atas. 

Setidaknya, istri tak sampai merengut karena dapur tak berasap. Saya pun tak sampai mengalami kepala berasap karena saking pusing memikirkan menghidupi anak istri.

Apakah dengan gaji di atas Rp 4 jutaan sudah cukup? Bagaimana menabungnya, bagaimana kebutuhan untuk jalan-jalan, piknik, dan tetek bengeknya?

Wartawan boleh alay, dilarang baper (Dok: Zulfikar Akbar)

Pertanyaannya apakah iya seorang wartawan untuk disebut profesional tak bisa menjajal pekerjaan sampingan? Saya termasuk yang berprinsip, sepanjang itu halal, tak mengambil yang bukan hak, dan betul-betul mendapatkan tambahan dengan bekerja, kenapa tidak?
Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline