Lihat ke Halaman Asli

Nabila

Freelance writer

Review: Film The New Rulers of The World

Diperbarui: 16 Agustus 2022   16:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Film. Sumber ilustrasi: PEXELS/Martin Lopez

Globalisasi secara tak langsung menghapus batas-batas bagi negara untuk saling berinteraksi sehingga hubungan baik akan tercipta antar negara dan hal itu akan mengurangi keinginan untuk berperang. Dalam Globalisasi bukan hanya hubungan baik yang akan terbina, ada inovasi-inovasi baru yang tercipta akibat munculnya globalisasi dalam dunia internasional. 

Namun, di sisi lain Globalisasi membawa dampak buruk kepada negara-negara berkembang dengan mengeksploitasi sumber daya alam mereka dan memiskinkan negara mereka. 

Pada kesempatan ini, John Pilger salah seorang Jurnalis yang memenangkan penghargaan BAFTA dengan film dokumenternya ini memberikan pemaparan atas efek yang ditimbulkan dari globalisasi dalam film dokumenternya yang berjudul “The New Rulers of The World”.

Film dokumenter karya John Pilger ini bermula dengan gambaran gaya hidup orang-orang kaya di belahan dunia. Menggunakan produk-produk dengan harga yang terbilang mahal, lalu setelahnya terdapat sebuah perbandingan pada scene dimana para pekerja di negara berkembang hidup dengan penuh kesulitan. 

John Pilger mengungkapkan bahwa ketimpangan antara yang kaya dengan yang miskin sangatlah jelas. Beliau berkata bahwa hanya dengan 200 perusahaan saja, perusahaan besar di belahan dunia ini dapat menguasai perekenomian negara dunia ketiga atau negara berkembang. 

Saat ini, General Motors dapat dikatakan lebih besar pendapatannya daripada Denmark, dan Ford lebih besar daripada Afrika Selatan. Orang-orang yang mengenakan produk dari merek-merek terkenal ini tidak mengetahui bahwa pada dasarnya produk tersebut diproduksi di sebuah negara miskin dengan upah buruh yang sangat minim, bahkan mereka dipekerjakan seperti budak.

Globalisasi dipercaya membawa pengaruh yang menyedihkan kepada negara-negara berkembang. Perusahaan-perusahaan besar seperti Nike, GAP, Adidas dan Reebok memperkerjakan para buruh dengan upah yang benar-benar berada di bawah standar. 

Ketika harga pakaian yang dihasilkan dijual seharga Rp.112,000. (Seratus Dua Belas Ribu Rupiah), maka upah untuk buruh yang membuat produk tersebut hanya sekitar Rp.500. (Lima Ratus Rupiah) saja. Para buruh ini secara terpaksa bekerja lebih dari batas waktu yang seharusnya. Jika produk tersebut akan diekspor dalam jumlah yang banyak, maka para buruh ini harus bekerja kira-kira selama 36 jam dengan upah yang sama.

Dalam pandangan Marxisme, hal tersebut merupakan fenomena nyata mengenai kaum Borjuis dan kaum Proletar. Bapak Sastrawan Pramoedya Ananta Noer mengungkapkan bahwa Indonesia telah dihisap habis kekayaannya oleh para kapitalis. 

Beliau berkata, “Ratusan tahun lamanya Indonesia dihisap oleh negara barat sehingga barat menjadi kuat, menjadi makmur, menguasai keuangan dan perdagangan sampai sekarang. Melalui instrumen yang bernama IMF dan keikut-sertaan Bank Dunia, Indonesia telah didikte dan disesap habis hingga negeri yang begitu kaya akan sumber daya alam diubah menjadi Negara pengemis.”

Intervensi IMF dan Bank Dunia dalam perekonomian Indonesia juga dipercaya sebagai campur tangan dari rezim Soeharto. IMF dan Bank Dunia seolah-olah mengiming-imingi rakyat Indonesia bahwa mereka akan mensejahterakan negara berkembang ini. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline