Hemat saya, hal yang diprogram secara TSM, bila dilawan dan digugat secara "natural". Maka, hasilnya sudah dapat ditebak. Pasti dikalahkan (bukan kalah).
(Supartono JW.24072025)
Kamis (24/7/2025), pukul 06.36 Butet Kartaredjasa, melalui pesan WA, mengirimi saya artikel yang ditulisnya, tayang di Harian Kompas, Kamis (24/7/2025), judulnya: "Hari Darurat Kebudayaan Nasional". Selesai membaca, saya pun membalas ke Butet:
"Mantap, Mas.
Sepihak, karena gula-gula. Jadinya sih Hari Kebudayaan Sepihak Indonesia (HKSI) ".
Apa yang ditulis oleh Butet dan tayang di Harian Kompas, hanyalah satu hal dari sekian persoalan yang terjadi di negeri ini, karena pemerintah dan parlemen yang katanya amanah untuk rakyat, tetapi sebenarnya, amanah untuk siapa?
Banyak lahir peraturan, kebijakan, dan sejenisnya dari parlemen dan pemerintah, mengatasnamakan rakyat. Tetapi, rakyat pun tahu, rakyat hanya untuk atas nama, dan "mereka" selalu memutuskan "sepihak".
Lebih dari itu, bila rakyat selama ini mengenal istilah terstruktur, tersistem, dan masif (TSM) hanya dalam konteks Pemilu, tetapi di berbagai media massa dan media sosial, berbagai pihak dan rakyat pun sudah membicarakan bahwa di negeri ini, senjata TSM sudah berlaku di semua lini. TSM pemaikannya sudah meluas, tidak terbatas di Pemilu.
Pertanyaan
Ada pertanyaan ke WA saya, semisal:
(1) Apakah kasus Pagar Laut, ada bau TSM?
(2) Apakah kasus Raja Ampat ada, bau TSM?
(3) Apakah kasus-kasus korupsi sampai Tom Lembong ada bau TSM?
(4) Apakah proses jadi Wakil Presiden, ada bau TSM?
(5) Apakah kasus ijazah palsu, ada TSMnya?
Dan, masih banyak pertanyaan lain, yang sejenis dan dikaitkan dengan TSM. Sebab, hal-hal yang dilakukan secara TSM, siapa pun yang melawan/menggugat, pasti akan dikalahkan (bukan kalah).
Pasalnya, semua hal yang berbau TSM, masalah terbesarnya adalah: dalam pembuktian TSM, pelakunya sering kali adalah pihak yang memiliki "kekuasaan".