Lihat ke Halaman Asli

Cahyaning Siwarka

Jangan lupa bahagia...

Rumah Manusia Luka

Diperbarui: 9 April 2022   12:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

Mencoba menulis di akhir pekan sungguh bukan ide yang baik. Ada terlalu banyak distraksi yang tidak bisa dihalau. Tak apa. Mungkin memang akunya saja yang mudah teralihkan, bahkan oleh hal paling remeh sekalipun.

Pagi ini bukan seperti hari sebelumnya. Tentu saja berbeda. Tidak ada rutinitas kerja. Tidak ada kecemasan menunggu jam pulang. Tidak ada bising yang memekakkan. Tidak ada obrolan basa-basi dan yang paling penting tidak ada gugup apalagi mual di pagi hari.

Aku benar-benar bukan orang yang pandai bergaul. Aku tidak tau cara menimpali obrolan singkat bahkan guyonan spontan antar-rekan kerja. Tidak heran kalau pada akhinya aku dianggap super pendiam dan sulit didekati. Semua itu terjadi setiap hari. Semuanya. Seluruh kekhawatiran tidak masuk akal tadi. 

Percayalah, rutinitas yang sangat menguras energi. Seolah berhadapan dengan beragam manusia adalah hal paling menakutkan di muka bumi. Tidakkah aku berlebihan?

Coba bayangkan. Jika dalam satu minggu, lima harinya saja terpakai untuk bekerja maka tinggal dua hari tersisa. Dua hari yang juga sebenarnya tidak begitu menenangkan. 

Sampai detik ini aku masih terus mencari definisi "rumah". Kalian tentu paham apa arti "rumah" yang kumaksud tadi. Bukan bangunan dan bukan pula hunian tetapi kenyamanan. Aku tidak berani menyalahkan siapapun atas kehilanganku akan "rumah". Saat menyendiri, berulang kali aku menganggap itu sebagai "rumah" yang sesungguhnya. 

Anehnya, di tengah ketidaktertarikanku pada keramaian, tidak jarang aku juga benci untuk menjadi sendiri. Mungkin aku kesepian, namun tidak pernah menyadarinya.

Aku tidak pernah menjadi saksi dari arti sebenarnya sebuah kehilangan. Tapi, kenapa seakan-akan kehilangan itu begitu nyata? Seolah aku pernah menjadi bagian di dalamnya.

Aku bukan tidak pernah merasa kehilangan, mungkin saja aku takut merasa ditinggalkan. Sepanjang yang aku ingat, hampir tidak pernah aku menangis di depan orang lain. Tidak pernah aku mencurahkan rasa sedih kepada orang lain. Tidak pernah pula bercerita akan masalah yang sedang aku alami. 

Sangat bersikeras untuk tetap menyimpan semua rasa sepi dan sedih sebagai konsumsi pribadi. Berusaha untuk memenuhi ekspektasi banyak orang. Menyembunyikan rasa sakit dan terus berusaha memaafkan orang lain.

Sepanjang hidupku, yang kutahu hanyalah bagaimana caranya menjadi pendengar yang baik. Aku tidak tau bagaimana caranya mengekspresikan diri secara langsung dengan orang lain. Lebih baik tersakiti daripada menyakiti. Lebih baik mengupayakan kata maaf daripada harus membuat orang lain merasa bersalah kepada kita. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline