Lihat ke Halaman Asli

Sihol Hasugian

Pembelajar Administrasi Publik; Sport Enthusiast.

Setelah Panen Padi, Kini Panen Singkong

Diperbarui: 25 Februari 2021   00:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Singkong yang baru dicabut dengan buah yang besar. Foto: Dokpri

Murahnya harga singkong itu tak pernah membuat kami urung untuk menanamnya kembali. Sebab, komoditas ini sudah jadi bagian yang tak terpisahkan bagi kami, terutama bagi ternak keluarga. Apalagi di kampung saya, hampir setiap kepala keluarga memilikinya. Oleh karenanya, harga itu tak begitu berpengaruh sekali.

Selain padi, dulu saat masih sekolah dasar saya juga gemar menanam singkong. Harus diakui kalau menanam singkong di ladang jadi tempat kedua setelah sawah menanam padi. Bahkan sawah dan ladang selalu jadi pelarian setelah pulang sekolah. Hal yang paling dinanti dari keduanya tentu saat musim panen tiba. Bila di sawah akan merasakan terik matahari berlebih, maka di ladang singkong, hal itu tak akan kita temui.

Kini setelah beberapa tahun merantau, hal itu kembali terulang lagi. Lagi-lagi pandemi jadi dalangnya. Momen itu pun saya alami kembali, terimakasih pandemi. Apalagi panen singkong kali ini terasa istimewa sebab saya dapat berkumpul dengan keluarga. Baik yang di kampung pun dengan yang di perantauan, itu semua dipertemukan berkat pandemi sekarang.

Tak seperti memanen padi, produk singkong di kampung saya biasanya ditanam di ladang masing-masing warga sehingga sifatnya lebih privat. Ada pula sebagian yang nebeng di ladang tetangga atau famili.

Di kampung saya budidaya singkong belum jadi komoditas yang bernilai tinggi. Warga masyarakat masih hanya menggunakannya sebagai bahan pangan ternak babi. Kadangkala sebagai cadangan pangan sehari-hari. Untuk produksi keripik saja jarang sekali ditemui.

Biasanya hasil panenan singkong akan dijual ke luar daerah, misalnya Aceh Singkil yang berjarak 3 jam lebih dari kampung. Seperti yang kami lakukan ketika memanen. Harganya memang tak begitu bersahabat dengan harapan. Para tengkulak singkong hanya mematok harga Rp. 1.000/Kg. Tak banyak pilihan bagi petani yang memiliki singkong. Daripada busuk di bawah tanah, lebih baik dijual dengan harga murah.

Murahnya harga singkong itu tak pernah membuat kami urung untuk menanamnya kembali. Sebab, komoditas ini sudah jadi bagian yang tak terpisahkan bagi ternak di keluarga. Apalagi di kampung saya, hampir setiap kepala keluarga memilikinya. Oleh karenanya, harga itu tak begitu berpengaruh sekali.

Walau harganya murah, banyaknya jumlah singkong setiap batangnya cukup membantu pundi-pundi rupiah. Satu batang saja dapat mencapai 50 kilogram atau bahkan lebih. Tak heran bila untuk mencapai angka 1 ton itu terbilang cukup mudah. Seperti hasil panenan kami yang hari itu mencapai 500 kg. Padahal batang singkong yang kami cabut tak sampai 100 batang.

Hasil panen siap untuk disortir ke karung goni. Foto: Dokpri.

Singkong Jadi Substitusi Nasi 

Harga singkong yang hanya 1000/kg, sebenarnya dapat ditingkatkan lagi. Tentu dengan metode yang berbeda. Komoditas itu semestinya dapat dibudidayakan oleh pemerintah guna memberdayakan masyarakat desa. Keberadaan BUMDES dapat dijadikan sebagai opsi pemberdayaan. Dimulai dengan pelatihan pemanfaatan, pengolahan, hingga pendistribusian hasil. Budidaya singkong yang benar akan membantu pendapatan warga, bahkan dapat mengurangi ketergantungan memakan beras.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline