Lihat ke Halaman Asli

Sihol Hasugian

Pembelajar Administrasi Publik; Sport Enthusiast.

Menyikapi Bencana dengan Bijaksana

Diperbarui: 10 Januari 2021   13:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber : Times Indonesia

Hilang kontaknya pesawat Sriwijaya Air perlu dimaknai sebagi proses pembelajaran dan pendewasan mental kita dalam merespon suatu peristiwa. Memperkuat aspek kemanusiaan, yakni membantu para korban, dengan tidak menyinggung privasi keluarga jadi salah satu pilihan terbaik saat ini. Ikut serta membantu penyebaran informasi yang berbasis pada fakta, yang diperoleh dari pemerintah. Terakhir yang tak kalah pentingnya adalah berdoa kepada sang pencipta. Bukan memperkeruh suasana. 

Saya merasa miris. Itulah ungkapan hati saya ketika melihat beragam respon yang mencuat di dunia maya atas jatuhnya pesawat Sriwijaya Air yang sedianya berangkat menuju Pontianak Sabtu, (9/1/2021). Bagaimana tidak,  masih saja ada respon negatif dari beberapa netizen. Tak ada empati sama sekali.  Mereka malah memperumit keadaan lewat informasi-informasi yang tak dibutuhkan. Ada saja yang jadi ahli dadakan penerbangan. Misalnya, menjelaskan panjang lebar teknis kenapa pesawat itu bisa kecelakaan, jatuh dan sebagainya, di akhir penjelasannya ditambah lagi kata CMIIW ( Correct me if I am wrong ). Sungguh tak ada kerjaan. 

 Ada pula misalnya, memberitakan privasi para penumpang (korban) pesawat ke media sosialnya, seperti gaji pilot itu, hingga mengumbar media sosial penumpang satu persatu, mulai followers dan sejenisnya. Banyak komentar-komentar yang tidak berempati beterbaran . 

"Aduh sedih banget ya padahal masih muda". "Untung saja kemarin tidak naik pesawat itu ya".

Saya tak habis pikir dengan mereka, di saat berduka masih saja memanfaatkan situasi ini. Entah apa yang mau diharapkan. Sedih sekali.

Lebih parah lagi, media online juga menjadi bagian dari mereka. Dengan memberitakan informasi yang jauh dari substansi peristiwa. Seperti mengulik informasi korban hingga ke akar-akarnya, bahkan menyinggung fisik dari korban. Entah mengapa model jurnalisme seperti ini masih berkeliaran di masa sulit ini. 

Salah satu komentar netizen yang tak diperlukan, sumber : @mazzini_gsp

Banyak sekali surat kabar online yang tiba-tiba jadi jurnalisme firasat. Mereka mengabarkan kepada publik hal yang sedianya ranah privat. Contohnya, " begini firasat orang tua penumpang sebelum berangkat" 

Atau, "orang tua penumpang telah merasakan firasat buruk dengan anaknya".

 Ada lagi tuh video jurnalis yang Ahhh sudahlah. Dia bertanya ke salah satu keluarga korban, mengenai kondisi dan informasi keluarganya. Padahal sudah jelas-jelas bapak tersebut sedang menangis terseduh-seduh, dan mengabarkan situasi kepada keluarga melalui telepon selularnya. Tetapi, jurnalis itu sungguh tak ada hati, di sebelahnya pun sama. Malah ikut merekam kejadian itu. Sama-sama tak punya empati. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline