Lihat ke Halaman Asli

Setiyo Bardono

TERVERIFIKASI

Staf Kurang Ahli

Fenomena Tahu Bulat Digoreng Dadakan

Diperbarui: 4 April 2017   17:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Tukang tahu bulat keliling (Sumber foto: tribunnews.com)"][/caption]Tahu bulat/digoreng dadakan/ di mobil/ lima ratusan/ anget anget/ hallooouw

Suara dari speaker atau corong toa itu pasti tak asing bahkan sedang hits akhir-akhir ini. Sumber suara berasal dari mobil bak terbuka yang menjajakan tahu bulat digoreng dadakan harganya lima ratus rupiah/biji. Alhasil, konsumen bisa menikmati tahu bulat yang hangat gurih-gurih enyoy karena fresh from the wajan.

Biasanya di dalam mobil tahu bulat yang blusukan di komplek perumahan atau perkampungan berisi dua atau tiga orang laki-laki. Di ruang kemudi ada sopir yang  merangkap jadi tukang halo-halo. Kadang ada juru warta sendiri di samping pak sopir yang sedang bekerja mengendarai mobil supaya pelan jalannya (Lha kalau ngebut kasihan para konsumen harus lari-lari mengejarnya).

Di bak belakang, ada satu atau dua orang lelaki remaja atau dewasa muda yang siap melayani pembeli. Satu orang sibuk menggoreng dan satu orang lagi menjadi kasir. Kadang tukang goreng merangkap menjadi kasir. Di bawah atap terpal, pramusaji tahu bulat berpeluh keringat. Maklum ia duduk dekat wajan besar berisi minyak goreng panas. Jadi kalau ada tetesan keringat masuk ke wajan itu bisa menambah gurih rasa tahu bulat (udah, nggak usah dipikirin).

Jajanan tahu bulat sebenarnya sudah lama kita jumpai di gerobak pinggir-pinggir jalan. Namun keberadaan mobil tahu bulat keliling membuat jajanan ini jadi booming dan fenomenal terutama di wilayah Jawa Barat. Backsound yang seakan menjadi prosedur tetap (protap) menjadi ciri khas unik pada bisnis tahu bulat keliling ini. Pencipta teks backsound tersebut sepertinya layak mendapat royalti.

Teks halo-halo itu pertama kali saya dengan di kampung mertua di Banjar, Ciamis, sekitar dua tahun lalu. Tak dinyana, halo-halo itu sekarang marak terdengar di jalanan dekat rumah saya di wilayah Depok, Jawa Barat. E lhadalah, cepat sekali ekspansinya. Sebentar lagi mungkin akan ada FTV di televisi nasional berjudul: Hallooouw! Pacarku Tukang Tahu Bulat Digoreng Dadakan (lho yang digoreng tahunya apa tukangnya?)

Sebenarnya teks itu sangat sederhana, tak ada kata-kata nyeleneh. Mungkin karena diucap berulang-ulang jadi lekat dalam ingatan. Konon begitu teori marketing sebuah produk. Ketika pengusaha kuliner memeras otak mencari tagline yang menggelitik, pencipta hymne tahu bulat memilih kembali ke selera asal: kesederhanaan teks.

Ketika pebisnis kuliner memakai merek aneh-aneh, keinggris-inggrisan hingga nama-nama berbau mistis/hantu-hatuan, tahu bulat tampil apa adanya dan percaya diri sebagai tahu bulat saja. Mobil yang ngider blusukan kampung pun tampil apa adanya. Hanya tulisan sekedarnya di papan triplek, tanpa dandanan desain visual penuh warna yang memanjakan mata, ala gerobak kuliner waralaba.

Kekuatan teks pada backsound tahu bulat keliling begitu kuat melekat dalam ingatan. Tak heran jika di media sosial banyak beredar meme seputar tahu bulat digoreng dadakan. Teks itu juga mengulik kreativitas lain hingga lahir lagu bertema serupa di Youtube. Mulai dari lagu versi paduan, reggae hingga lagu Sunda, "Tahu bulat digoreng dadakan, lima ratusan, dina mobil. Maknyuss wenak gurih-gurih enyoy."

Saya kira, perumus teks halo-halo tahu bulat keliling termasuk orang yang genius. Padahal jika dikaji secara mendalam (nggaya banget ya), kalimat sederhana itu sebenarnya mengandung kedalaman makna. Entah siapa dia dan di mana tinggalnya, penulis teks itu saya kira sangat paham akan kondisi sosial politik Indonesia. Benarkah?

Belajar Hidup dari Tahu Bulat

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline