Lihat ke Halaman Asli

selamat martua

Marketer dan Penulis

Aku dan Sepotong Cermin

Diperbarui: 26 Oktober 2020   07:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sebagai Manejer Bank Aku senang diberi label galak, Apalagi berurusan dengan Debitur. Hmmmm Aku harus tegas, teliti, jaga penampilan dan wibawa, pikirku saat itu. Bukan apa-apa, Aku tidak ingin dikadalin sama Debitur nakal. Kebanyakan dari Mereka saat mengajukan kredit dengan cara meMELAS, tetapi giliran memenuhi kewajiban MALES.

Biasanya kalau proposal Debitur tidak meyakinkan, atau Aku curigai mereka adalah Debitur nakal. Aku cukup menjawab proposal Mereka dengan batuk-batuk, maka Debitur langsung ngacir keluar ruangan.

Kondisi ini membuat kebiasaanku berubah. Punya sikap agak congkak dan arogan. Kadang-kadang Aku tega mengusir calon debitur yang kurang mampu berargumen, padahal bisa jadi bisnisnya punya prospek sangat bagus dan proposal mereka itu layak disetujui.

Demikian juga dengan gaya hidup sehari-hari Aku termasuk boros, ada fasilitas kenderaan, punya rumah, anak-anak sekolah sukses. Meskipun bekerja di bidang keuangan, Aku tidak memiliki perencanaan keuangan yang matang, baik itu untuk sendiri maupun buat keluarga. 

Pokoknya nikmati saja hidup yang serba berkecukupan ini, toh Aku kerja di bank dan masa depan sangat terjamin, siapa sih yang enggak butuh Bank, begitu kataku dalam hati.

Tiba-tiba badai menimpa Indonesia. Krisis ekonomi melanda Negeri, ada gejolak politik, Dollar berlari kencang membuat banyak Bank-bank di Indonesia berguguran. Tidak terkecuali Bank tempatku bekerja, ikut kolaps dan pindah kepemilikan. Perusahaan melakukan Normalisasi, termasuk pengurangan pegawai dan Akupun di PHK.

Hidup serasa gelap karena kejadian ini terasa sangat cepat. dan Aku pribadi sangat tidak siap, panik, bingung dan merasa kehilangan pegangan.

Dibulan pertama, situasi ini masih Aku rahasiakan dan tidak seorangpun dari anggota keluarga menyadari (menurutku sih). Aku masih tetap beraktifitas seperti biasa, berangkat ke Kantor jam 07.00 pagi, diantar sopir. 

Meskipun setelah keluar rumah bingung mau kemana. Dalam situasi galau berat seperti itu biasanya Aku berkeliling Kota. Sore hari pulang seolah-olah semuanya berjalan normal.

Bulan ke Dua, sudah ga kuat. Sopir diberhentikan dan Aku kumpulkan keluarga untuk berterus terang bahwa sudah satu bulan ini tidak bekerja. Ketika khabar itu kusampaikan, Istri dan Anak-anak terlihat kaget dan sangat terpukul. Si Bungsu menangis, sedangkan Abangnya meskipun kecewa masih berusaha menyimpan perasaannya. 

Demikian juga Istri Aku yang belum bisa menerima dan sambil tertunduk lesu terlihat berusaha tegar. Sebenarnya respon Mereka juga membuatku semakin kalut, tapi mau apalagi, sekarang semua harus menghadapi kenyataan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline