Lihat ke Halaman Asli

Guru, Siswa dan Lucinta Luna: LGBT dalam Pembelajaran

Diperbarui: 7 April 2018   15:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Di media sosial saat ini, ramai diwartakan perihal seorang selebritis yang diduga bahkan dituding oleh masyarakat telah berganti jenis kelamin. Sosok yang dituding para netizen sebagai transgender yang sebelumnya laki-laki, kemudian mengubah jenis kelaminnya menjadi perempuan.

Figur tersebut bernama Lucinta Luna, penyanyi yang diyakini publik telah melakukan operasi jenis kelamin. Setidaknya demikianlah pembahasan khususnya di media sosial yang sempat viral sampai sekarang, tentang personil "Duo Bunga" ini.       

Bicara tentang kelompok LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender) atau ditambah IQ (Intersex dan Queer) masih menjadi tabu dan polemik bagi masyarakat. Biasanya ukup didiskusisan dan diperdebatkan dalam kelas kajian gender. Atau perdebatan teori sosial di kelas sosiologi, psikologis bahkan kelas fikih Islam.

Artinya membicarakannya cukup di ruang-ruang terbatas saja. Dukungan terhadap eksistensi kelompok tersebut di kalangan aktivis feminis dan pegiat hak asasi manusia (HAM) selalu muncul. Apalagi sampai kini terus mengupayakan Rancangan Undang-Undang Keadilan dan Kesetaraan Gender (RUU KKG) segera disahkan DPR.

LGBT dalam Perspektif Siswa

Dalam tulisan sederhana ini, penulis ingin berbagi pengalaman singkat untuk memperkaya perspektif kita, sebagai bagian diskursus perihal LGBT dalam konteks pendidikan dan persekolahan.

Tema besar yang menjadi inti persoalan adalah, "Bagaimana pemahaman para siswa Generasi Z terhadap keberadaan kelompok LGBT?". Pertanyaan ini menjadi wacana yang sangat menarik bagi penulis dalam pembelajaran PPKn (Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan) di kelas, khususnya pada KD (Kompetensi Dasar) "Penghormatan HAM berdasarkan nilai-nilai Pancasila" di Kelas XI SMA.

Dalam KD ini, secara umum para siswa akan belajar mengenai teori dan konsepsi HAM, seperti konsep "non-derogable rights" dan "derogable rights". Yang pertama adalah hak asasi manusia yang tidak bisa ditangguhkan atau dikurangi kapanpun, sedangkan yang kedua adalah hak asasi manusia yang bisa ditangguhkan atau dikurangi keberadaannya. Kemudian belajar prinsip universalisme HAM dan partikularisme HAM. Dilanjutkan menganalisis kasus-kasus pelanggaran HAM (berat) di Indonesia.

Begitu pula mengenai teori universalitas HAM dan relativitas HAM (ICCE UIN Jakarta, 2012). Para siswa pun sudah belajar pasal 28 A-J UUD 1945 yang khusus menguraikan tentang hak asasi manusia dalam konteks konstitusi Indonesia, sebagai wujud nyata partikularisme HAM. Konsepsi HAM Indonesia berbeda dengan konsepsi HAM negara barat yang didasari ideologi liberalisme (universalisme HAM). Setidaknya demikian uraian singkatnya.

Dalam tiap diskusi terkait isu-isu HAM yang saat ini sedang berkembang, baik konteks Indonesia maupun global, para siswa sering merujuk tentang legalisasi kelompok LGBT di Amerika Serikat, Eropa dan Australia. Diskusi biasanya diawali oleh pertanyaan, "Apakah memilih orientasi seksual LGBT merupakan bagian dari HAM di Indonesia?". Secara umum siswa terbagi menjadi tiga (3) pandangan kelompok.

Kelompok pertama, yakin dan menilai bahwa LGBT bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila, budaya, adat-istiadat dan agama di Indonesia. Prinsip partikularisme HAM. Oleh karena itu menjadi LGBT bukan bagian dari HAM, justru bagi mereka melanggar HAM itu sendiri.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline