Mohon tunggu...
Satriwan Salim
Satriwan Salim Mohon Tunggu... profesional -

Pendidik di SMA Labschool Jakarta-Univ. Negeri Jakarta (UNJ). Wasekjen Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI). Pengurus Asosiasi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Indonesia (AP3KnI). Alumni Program Studi Pengkajian Ketahanan Nasional Pascasarjana Universitas Indonesia (UI). Bisa kunjungi Blog saya di www.satriwan.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Guru, Siswa dan Lucinta Luna: LGBT dalam Pembelajaran

7 April 2018   14:57 Diperbarui: 7 April 2018   15:00 1029
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Mereka yakin sampai kapanpun LGBT takkan diterima oleh budaya Indonesia. Apalagi wacana untuk legalisasi "same-sex marriage" seperti di beberapa negara Eropa, tidak akan pernah bisa diterima di negara ini. Kelompok ini jumlahnya paling dominan, hampir di setiap kelas yang saya ajar.

Sedangkan kelompok kedua, ada beberapa siswa di tiap kelas yang memiliki pemahaman lebih "moderat" terhadap kelompok LGBT. Mereka beralasan bahwa kelompok LGBT saat ini memang menjadi persoalan sosial dan perilaku menyimpang, tetapi seiring globalisasi dan masuknya nilai-nilai barat ke Indonesia, lambat-laun kelompok LGBT akan bisa diterima oleh masyarakat Indonesia.

Nilai-nilai HAM yang berkembang di barat akan memengaruhi pola pikir dan sikap hidup masyarakat Indonesia. Kelompok ini berpandangan positif dan akomodatif terhadap perubahan sosial. Meyakini suatu hari nanti, nilai-nilai budaya asli Indonesia akan memudar dan terkikis. Ini tak akan bisa dihindari kata mereka, sebuah keniscayaan global.

Sedangkan bagi kelompok ketiga, adalah beberapa siswa yang memiliki persepsi lebih "liberal" dari kelompok lainnya. Biasanya jumlahnya paling sedikit, hanya hitungan jari tak lebih dari lima (5) siswa. Mereka yakin bahwa menjadi bagian dari LGBT adalah sebuah pilihan psikologis, sosial dan konstitusional karena dijamin dalam UUD 1945.

Kelompok non-mainstream ini juga beralasan, jika LGBT adalah kelompok sosial yang sebenarnya potensial, baik secara jumlah maupun secara kualitas (sumber daya manusia). Para siswa kemudian mencontohkan negara Eropa dan Amerika Serikat, yang kelompok LGBT-nya dari beragam profesi, bahkan ada yang menjadi CEO perusahaan internasional Apple, Tim Cook atau pemusik legendaris seperti John Lenon.

Bagi mereka LGBT memiliki potensi yang harus diberdayakan, mereka sama dengan kita yang juga sebagai manusia. Para siswa kemudian mengutip Pasal 28D UUD 1945;
(1) "Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum". Kemudian Pasal 28I (2) "Setiap orang berhak bebas atas perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu".

Artinya menjadi seorang yang bagian dari LGBTIQ adalah pilihan hidup. Dijamin konstitusi menurut mereka. Dan siapapun atau kelompok manapun tak boleh memaksakan pemahamannya kepada kelompok lain. Yang lebih penting kelompok LGBTIQ harus terbebas dari tindakan diskriminasi dalam masyarakat. Singkatnya demikian argumen yang dibangun.

LGBT dan Pedagogi Kritis

Dalam pembelajaran (PPKn), di satu sisi mengemukakan isu-isu kontroversial dalam pembelajaran di kelas akan menarik partisipasi siswa, seperti yang pernah Prof. Dr. Udin S. Winataputra (Guru Besar Pendidikan Kewarganegaraan, UT) sampaikan kepada saya dalam sebuah diskusi di Puskurbuk beberapa waktu lalu.

Bahwa seorang guru PPKn harus mampu melakukan "burning issues", mengangkat persoalan sosial yang kontroversial ke hadapan siswa dalam format diskusi atau debat. Di sisi lain, memulai diskusi kontoversial ini akan membuka lebar liberalisasi wacana kepada siswa.

Tapi semua itu dilakukan dengan tujuan agar siswa mampu menyampaikan argumentasinya secara logis dan rasional, berpikir kritis (critical thinking), mampu mengomunikasikannya (communicative) kepada siswa lain, menghargai perbedaan cara pandang dan toleran terhadap kelompok yang berbeda dengan dirinya serta bertanggungjawab dengan pilihan sikapnya. Inilah perwujudan pedagogi kritis dan dialogis, seperti yang diajarkan Paulo Freire (1985) dan Henry Giroux (2011).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun