Lihat ke Halaman Asli

Jangan Takut Membaca!

Diperbarui: 7 September 2016   10:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokumentasi pribadi

Gerakan "Literasi Sekolah" yang pernah dicanangkan bahkan diimplementasikan oleh Anies Baswedan, ketika masih menjabat sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan merupakan sebuah terobosan. Seperti diketahui, minat baca masyarakat Indonesia sangat rendah, yang pernah UNESCO laporkan pada 2012 lalu. 

Data statistik UNESCO itu menyebutkan indeks minat baca di Indonesia baru mencapai 0,001. Artinya, dari 1.000 penduduk, hanya satu warga yang tertarik untuk membaca. Menurut indeks pembangunan pendidikan UNESCO ini, Indonesia berada di nomor 69 dari 127 negara. Angka ini tentu sangat menyedihkan (Republika, 2015).

Masih menurut Republika (2015) yang mengutip data Badan Pusat Statistik. Jumlah waktu anak Indonesia menonton televisi mencapai 300 menit per hari. Bandingkan dengan anak-anak Australia yang hanya 150 menit per hari, di Amerika Serikat yang 100 menit per hari, ataudi Kanada 60 menit per hari.

Sebagai bagian dari implementasi "Gerakan Literasi Sekolah", kami di SMA Labschool Jakarta sudah membiasakan para siswa untuk menyampaiakan argumentasi, public speaking, membaca buku, menulis dan menyampaikan hasil bacaan tersebut.

Buku-buku yang dipilih oleh siswa tidak pernah kami batasi. Apakah bertemakan politik, sejarah, ideologi, hukum, agama, sosiologi, budaya, ekonomi, sastra, novel, biografi, bahasa, bahkan filsafat dan perang. Baik fiksi maupun non fiksi. Kami tak pernah membatasi siswa untuk membaca 1 (satu) buku saja, tapi beragam buku. 

Hanya membaca lantas langsung mengimani hanya 1 (satu) buku, tentu akan berakibat kepada pola pikir siswa yang akan monolitik, homogen dan kaca mata kuda. Hanya membaca 1 buku lantas mengimaninya, tanpa membaca buku-buku lain sebagai perbandingan dan diferensiasinya, inilah yang akan menjadi cikal-bakal watak fundamentalisme dan radikalisme. Tentu bukan ini yang kita inginkan.

Teringat nasihat sang filsuf abad pertengahan St. Thomas Aquinas, yaitu "Berhati-hatilah dengan orang yang hanya punya satu buku."

Hal itulah yang kami lakukan, misalkan di Kelas XI IPS 2 SMA Labschool Jakarta. Sebagaimana yang kita maklumi, siswa-siswi jurusan IPS memiliki kompetesi lebih dalam hal analisis wacana-wacana sosial. Karena memang itulah kelebihan mereka dibanding jurusan IPA.

Maka tidaklah heran, jika buku-buku yang mereka baca, ragam judulnya. Bahkan buku-buku yang pernah dilarang di era Orde Baru. Seperti buku-buku Tan Malaka, Karl Marx dan yang bertemakan "Kiri" lainnya. Dalam ranah sastra, bukunya Pramoedya Ananta Toer adalah salah satu yang "haram" untuk dibaca.

Tapi sekarang, para siswa menembus segala macam pengekangan masa lalu itu. Generasi mereka adalah generasi merdeka. Membaca bagi mereka adalah sebuah aktivitas memerdekakan diri, suatu penanda bahwa mereka masih hidup. Teringat yang dikatakan oleh Goenawan Mohamad; 

"Buku mengisi jam-jam kita yang kosong dengan percakapan yang mungkin tak akan pernah selesai, tapi membuat kita tahu, kita hanyalah penafsir tanda-tanda, di mana kebenaran menerakan jejaknya. Itu sebabnya kata pertama yang menakjubkan adalah BACALAH!"

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline