Perempuan dari masa ke masa terus menjadi objek kajian yang dianalisis dari berbagai perspektif. Mulai dari sejarah, mitologi, politik, agama, psikologi, sosial, ekonomi, budaya sampai kepada seksologi. Bagaimanapun kita membantahnya, perempuan ternyata tetap menjadi objek dalam masyarakat. Sampai-sampai banyak studi di perguruan tinggi (termasuk di Indonesia) yang memfokuskan kajian kepada persoalan perempuan, dengan memakai terminologi lain yaitu gender. Dalam konteks politik-kenegaraanpun, ternyata perempuan memperoleh ruang politik tersendiri, dengan adanya kementerian pemberdayaan perempuan. Kita tak mengenal ada "kementerian pemberdayaan pria". Begitu juga dalam konteks parlemen, dalam regulasi Pemilu pada 2009 secara eksplisit keterwakilan perempuan fardhu hukumnya bagi partai politik di parlemen, minimal 30 %. Kenyataan ini tentu menjadi suatu perkembangan "keperempuanan" dalam politik nasional. Pentas politik nasionalpun pernah menempatkan seorang presiden perempuan pertama yang memerintah ratusan juta rakyat Indonesia. Kenyataan ini sungguh menarik perhatian kita terhadap perempuan.
Ketertarikan terhadap perempuan tersebut tak hanya secara psikologis-seksual semata, dari lawan jenisnya yang bernama pria. Tetapi melampui sekedar ruang seksualitas-psikologis yang bersifat biologis. Secara historis sebenarnya penempatan perempuan ke dalam center of gravity dari peradaban manusia telah terkonstruksi sejak zaman Adam dan Hawa. Perempuan dikonstruksi sedemikian rupa oleh sejarah, sehingga menjadi daya tarik peradaban bahkan pembentuk peradaban itu sendiri. Namun yang tak harus kita lupakan begitu saja adalah intervensi teologis dimensi ketuhanan, yang tak mau ketinggalan untuk melibatkan dirinya membentuk sejarah perempuan. Dalam agama-agama samawi secara normatif-teologis dijelaskan kedudukan perempuan dalam pembentuk sejarah umat manusia. Di saat Adam tercipta, naluri kelelakian (maskulinitas) beriringan muncul dalam proses penciptaannya. Walaupun saya pikir bahwa konsep maskulin, pria/laki-laki atau jenis kelamin belumlah terkonstruksi secara sosial pada saat itu. Karena belum ada pembanding atau lawan yang equal posisinya. Analoginya tidak ada konsep panas, jika tidak ada dingin. Tidak ada panjang kalau tak ada pendek. Tidak ada warna hitam jika tak ada konsep warna kuning, putih, abu-abu, merah, hijau dan sebagainya. Seperti yang dikenalkan Derrida sebagai oposisi biner.
Penciptaan Adam yang fenomenal dan penuh "skenario teologis" tersebut, makin bertambah kompleks ketika naluriah dia membutuhkan pendamping. Mulailah pada saat itu sejarah keperempuanan terbentuk dan berpengaruh terhadap eksistensi peradaban umat manusia. Hawa yang diciptakan Tuhan konon berasal dari tulang rusuk Adam menjelma menjadi sosok makhluk Tuhan dengan karakter keperempuanannya (feminin). Senanglah kemudian perasaan Adam, sebab ada sosok yang selalu berada di sisinya dengan segala ketundukkan yang penuh terhadap Adam. Penciptaan Hawa untuk mendampingi Adam memulai beragam interpretasi terhadap perempuan dan bermacam mitos yang senantiasa lekat pada perempuan tersebut. Dari sinilah mitologi perempuan mulai berkembang.
Sebagai mahkluk pilihan yang menempati surga, kehidupan sepasang manusia ini mendapatkan segala keinginannya. Kesejahteraan, kebahagiaan, kesenangan menjadi cerita sehari-hari mereka di surga. Namun Tuhan ternyata tidak memberikan kesenangan tersebut 100 % persen kepada mereka, karena kedua manusia ini dilarang untuk menyentuh sebuah pohon yang bernama Khuldi. Terlepas dari simbolisasi apakah Khuldi ini adalah objek tertentu atau perbuatan, yang jelas Tuhan tak rela jika mereka mendekatinya apalagi memakannya. Namun karena godaan Iblis (yang pasti selalu muncul dalam sejarah manusia) yang mengubah wujudnya menjadi seekor ular, menggoda Hawa untuk merayu Adam memakan Khuldi terlarang itu. Karena sifat kemaskulinan Adam, yaitu mudah tergoda oleh bujuk rayu apalagi dari seorang perempuan yang dicinta, maka dengan berani Adam melanggar larangan Tuhan tadi. Adampun berani mendekati, meyentuh dan memakan buah terlarang. Dari sinilah mitologi perempuan menjadi lebih kompleks dan renyah untuk dibaca.
Sebagai pasangan yang baik, Adam menawarkan kepada Hawa untuk mencicipi juga buah terlarang itu. Karena permintaan sang pujaan hati, Hawa tak malu-malu untuk segera mencoba memakannya. Giginya yang rapi mulai mengunyah buah tersebut, dirasa-rasa sungguh enak nian rasa buah ini. Teruslah gigi dan lidahnya berkecamuk, beradu untuk kemudian serentak menelan kunyahan buah yang gurih. Kunyahan buah itu sampai di tenggorokan Hawa, dan segera berlari menuju bagian di bawah tenggorokan. Sebelum sampai di lambung, ternyata buah yang dikunyah itu tak mau beranjak dan terus diam di tubuh bagian dada Hawa. Maka tumpukan buah Khuldi yang dikunyah oleh Hawa tersebut, mendadak tumbuh menjadi gumpalan daging yang menonjol. Tonjolan di wilayah dada Hawa itu kemudian dikenal dengan nama payudara. Perjalanan buah terlarang ini tak hanya sampai di wilayah dada Hawa yang tumbuh bernama payudara saja. Tetapi terus masuk perlahan ke dalam lambungnya yang kecil untuk diremas-remas sesuai mekanisme biologis-kimiawi.
Di dalam lambung Hawa, buah terlarang tersebut telah mengecil dan dirasakan efek kandungan dari buahnya. Namun ternyata masih ada sisa-sisa ampas buah Khuldi yang mengendap di dalam pencernaannya. Kemudian ampas-ampas buah ini berhasil juga keluar melalui bagian tubuh vitalnya. Inilah yang dalam perspektif biologis disebut sebagai menstruasi. Darah menstruasi dalam mitos perempuan merupakan sisa-sisa buah terlarang yang dimakan oleh Hawa. Inilah setumpuk mitos tentang perempuan yang sukses dikonstruksi dalam peradaban manusia. Begitu juga dengan Adam, buah terlarang yang dimakan bersama Hawa, di saat sampai di tenggorokan, Adampun tak sanggup menelannya untuk sampai ke pencernaan (lambung). Maka kunyahan Khuldi kemudian berubah menjadi benjolan kecil di daerah leher Adam. Secara anatomi tubuh ini kita sebut sebagai jakun atau buah jakun bagi pria. Perempuan dalam peradaban tribal manusia acap kali menjadi objek persembahan kepada para raksasa, dewa atau Iblis. Karena hanya perempuanlah yang berhasil untuk menenangkan kemurkaan para raksasa, dewa atau Iblis. Bahkan pernah ada dalam suatu tradisi, yaitu kewajiban seorang istri mengikuti suaminya yang telah mati, untuk terjun ke dalam pembakaran mayat suaminya (Sati).
Mitologi di sekitar perempuan juga tak hanya berhenti pada Hawa (karena perilakunya tadi kemudian diusir dari surga oleh Tuhan). Kita tahu bahwa Luth sebagai nabipun memiliki istri yang tak patuh pada perintahnya dan Tuhan. Ketika Luth pergi dari negerinya (karena kaumnya mendapat hukuman Tuhan), Tuhan melarang dia dan istrinya untuk melihat ke belakang (negerinya), untuk mengetahui apa yang terjadi. Namun istri Luth tetap melawan perintah tersebut. Hukuman Tuhan langsung dirasakan oleh istrinya ini. Begitu juga sejarah Musa dan Fir'aun yang tak lepas dari intervensi perempuan. Fir'aun tidak akan hancur jika saja dalam sejarah kehidupannya, tidak ada intervensi dari istrinya yang bernama Aisyah. Sebab Musa kecil adalah seorang bayi yang ditemukan hanyut di Sungai Nil oleh istri Sang Ramses. Tatkala istri Fir'aun sedang mandi di tepi Sungai Nil bersama para dayangnya. Kelembutan dan kebaikan hati istri Fir'aun ini, akhirnya menjadi babak sejarah kehancuran baginya. Jika saja istri Fir'aun tidak mengambil, memungut dan membesarkan Musa bersamanya di istana, kita tidak tahu bagaimana kemudian sejarah Musa dan Fir'aun akan tertulis.
Mitos yang mengelilingi perempuan tambah menarik jika dipahami dari sisi teologi. Jika seseorang masuk surga (bagi pria) akan diganjar bidadari. Apalagi para pelaku teror bom yang sedang terjadi saat ini, berorientasi eskatologis untuk mendapatkan 70 bidadari. Pemahaman sederhana kita adalah bidadari merupakan perwujudan dari perempuan di alam eskatologi (akhirat). Tidak ada bidadari laki-laki sebagai kompensasi amal dan ibadah seorang perempuan di dunia. Tampaknya bidadari khusus diperuntukkan bagi kaum pria saja. Teringat pula yang pernah dikatakan nabi bahwa neraka itu kelak akan banyak diisi oleh kaum hawa (perempuan). Perempuanpun pernah diharamkan terlibat dalam politik. Indonesia pernah mengalami era "zona larangan" bagi pemimpin perempuan. Domestikasi tubuh dan kerja perempuan pun menjadi keniscayaan. Bahkan saat ini ada daerah yang mengharamkan perempuan menduduki jabatan top leader (kepala daerah) di tingkat lokal.
Perempuan di ranah politikpun agaknya memiliki paradoknya sendiri. Sejarah memang telah mencatat bahwa Cleopatra pernah memimpin sebuah peradaban Mesir kuno. Tribuana Tunggadewi pernah memimpin Majapahit. Bahkan jika tak ada peran utama seorang Ken Dedes atau Ken Umang, kita tidak tahu apakah sejarah Singosari dan raja-raja Jawa akan dikenal. Dalam dunia modern saat ini, kita melihat Ratu Elizabeth dengan keperempuanannya memimpin negara sekuat Inggris. Ditambah lagi Ratu Beatrix yang memimpin Belanda atau Ratu Margareth di Denmark. Walaupun para ratu tersebut hanya sebagai simbol politik di negaranya, tapi tetap saja mereka adalah seorang perempuan. Perempuan berperan sentral dalam sejarah peradaban manusia. Seorang Isa bin Maryam dilahirkan dari seorang ibu suci yang tak memiliki suami. Maryam menjadi simbol kekudusan dan tanggung jawab yang tinggi sebagai seorang perempuan sekaligus ibu bagi anaknya, yang kelak menjadi pemimpin dunia. Termasuk Muhammad, andaikan Khadijah tidak lahir untuk hidup mendampingi perjuangannya, kita tidak tahu apakah Islam akan sampai di rumah-rumah mayoritas penduduk Indonesia.
Tapi mereka juga tak lepas dari mitos-mitos yang kadang menjadi batu sandungan bagi yang namanya kesetaraan. Bahwa Kartini dilahirkan sebagai personal yang mengintrupsi konstruksi feodalisme budaya yang maskulin, itu benar. Namun budaya kita sudah terlanjur jauh untuk memposisikan pria duduk di singgasana maskulinitasnya. Mitos-mitos di sekitar perempuan dengan sengaja terproduksi, dengan wajah yang sebenarnya tidak ramah bagi mereka. Di sisi lain, para nabi berkata bahwa surga itu terletak di bawah telapak kaki ibu. Penghormatan yang luar biasa kepada kaum perempuan. Perempuan mempunyai intervensi penting bagi kokohnya suatu negara. Banyak pria yang mengalami disorientasi hidup karena seorang perempuan. Hitler bunuh diri disertai dengan ucapan terakhirnya buat kekasih hati, yaitu Eva Braun.
Tak aneh kemudian jika perempuan memang menjadi mysterium tremendum et fascinans. Konstruksi budaya yang maskulin ini bagi saya bukan untuk dihilangkan. Bagaimanapun juga pengaruh nilai-nilai agama dan teologis sudah terlampau dalam membentuknya. Berbagai gerakan feminisme baik yang radikal ataupun moderat tak akan bisa meruntuhkannya. Maskulinitas telah menjadi suatu "kesadaran ideologis" dalam wajah budaya kita. Kesetaraan gender mungkin saja menjadi utopia belaka. Mitos di sekitar perempuan adalah sebuah produksi sejarah yang sukses menjadi bangunan keimanan. Jika keadaannya seperti itu, bagaimana membentuk suatu bangunan kebudayaan yang setara, antara "yang lelaki" dan "yang perempuan"? Jawabannya adalah beranikah kita berbagi posisi dan peran yang berimbang (equal) dengan "yang lelaki" dan "yang perempuan". Maka tak ada salahnya jika kita mesti melakukan "revolusi kesadaran" tentang "yang lelaki" dan "yang perempuan". Bukan malah mengkambinghitamkan sejarah, budaya bahkan agama. Kesadaran kita sebagai makhluk Tuhan (person) yang diciptakan sama adalah kuncinya, bukan karena identitas seksual, gender, psikologi, ekonomi bahkan politik.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI