Lihat ke Halaman Asli

Sapti Nurul hidayati

Ibu rumah tangga

Peran Apoteker dalam Sosialisasi Tobacco Harm Reduction untuk Mengurangi Jumlah Perokok di Indonesia

Diperbarui: 11 November 2019   14:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Para pembicara (doc. Panitia)

Tanggal 9 November 2019 lalu, bertempat di Hotel Sheraton Mustika, saya dan beberapa kawan dari Kompasianer Jogja memperoleh undangan untuk menghadiri acara workshop yang diselenggarakan oleh Koalisi Indonesia Bebas TAR (KABAR) dan Indonesian Young Pharmacist Group (IYPG)  yang membahas tentang "Pengurangan Bahaya Tembakau Dan Upaya Berhenti Merokok Dalam Perspektif Farmasi dan Kesehatan Publik".  

Acara ini menghadirkan 3 pembicara yang kompeten di bidangnya. Yakni Dr. drg. Amaliya,  M.Sc. Ph. D, seorang Peneliti Yayasan Pemerhati Kesehatan Publik (YPKP), Dr. dr. Ardini Reksanegara, M. P. H, pengajar Departemen Kesehatan Masyarakat, Universitas Padjajaran, dan Ariyo Bimmo, SH. LLM, Pengamat Hukum dan Kebijakan sekaligus ketua Koalisi Indonesia Bebas TAR (KABAR).  

Di Indonesia,  merokok memang seperti sudah menjadi budaya. Pemandangan orang merokok sangat mudah dijumpai di mana-mana. Sehingga tidak mengherankan jika berdasar data Global Tobacco Atlas 2017, Indonesia menempati urutan ketiga jumlah perokok terbanyak di dunia setelah Cina dan India.

Di mana satu dari lima orang di Indonesia adalah perokok, dan 66,6% dari populasi perokok adalah laki-laki. Mungkin adanya anggapan jika merokok adalah sesuatu yang maskulin salah satu penyebabnya.  

Padahal data menyebutkan 21,37% kematian terjadi karena penyakit akibat merokok, seperti penyakit jantung, kanker, maupun, paru-paru.

Pemerintah sendiri telah melakukan berbagai upaya agar kebiasaan merokok masyarakat Indonesia berkurang. Diantaranya melalui edukasi tentang bahaya yang dapat mengancam kesehatan si perokok maupun orang-orang di sekitarnya, akibat terdapatnya zat-zat berbahaya seperti seperti nikotin dan tar yang terbentuk karena rokok yang dibakar.

Dari sisi regulasi,  pemerintah juga telah menerapkan kebijakan menaikkan cukai rokok dan mewajibkan perusahaan rokok untuk mencantumkan aneka bahaya dan risiko yang akan dihadapi jika mengkonsumsi rokok dalam kemasan rokok yang diproduksinya.

Namun nyatanya berbagai upaya yang dilakukan belum memberikan hasil yang signifikan. Karena memang berhenti merokok bukan perkara mudah seperti membalikkan tangan. Kandungan nikotin yang ada pada rokok memberikan efek ketagihan yang tidak mudah untuk dihentikan.  

Dalam sambutannya, Ketua Indonesia Young Pharmacist Group Arde Toga Nugraha menyampaikan, sebenarnya ada satu cara yang bisa dilakukan untuk menurunkan angka perokok di Indonesia. Seperti yang juga telah dilakukan di negara maju seperti Inggris dan Jepang yang menggunakan produk tembakau alternatif untuk mengurangi ketergantungan masyarakat akan rokok. Cara ini terbukti ampuh untuk digunakan sehingga angka perokok di kedua negara ini mengalami penurunan.  

Ketua IYPG, Arde Yoga (doc.pri)

Sayangnya,  informasi akurat mengenai produk tembakau alternatif ini masih sangat minim. Sehingga perlu dilakukan workshop yang memberikan pemahaman tentang peran apoteker dalam menyebarluaskan konsep pengurangan risiko terhadap produk tembakau yang dibakar.

Dalam hal ini Arde Toha Nugraha mencontohkan regulasi yang digunakan di Selandia Baru, untuk membantu para perokok berat yang sulit berhenti merokok dengan menggunakan konsep pengurangan bahaya tembakau (Tobacco Harm Reduction).

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline