Lihat ke Halaman Asli

Sapraji

Konsultan Politik | Manajemen | Analis Kebijakan Publik | Peneliti | Penulis

Demokrasi Digital; Partisipasi atau Ilusi?

Diperbarui: 2 Agustus 2025   22:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi Demokrasi Digital. (Foto: Idisign/AI)

Demokrasi kita memasuki babak baru. Internet dan media sosial, yang dulu dipuja sebagai penopang partisipasi rakyat, kini menjadi arena yang paradoksal: seolah inklusif, tetapi menyisakan pertanyaan mendasar apakah benar suara semua orang didengar, atau hanya mereka yang paling nyaring di dunia maya?

Di Indonesia, euforia demokrasi digital terlihat jelas. Dari petisi daring, tagar viral, hingga aplikasi pengaduan pemerintah, semua dirancang untuk memberi kesan bahwa warga negara kini lebih dekat dengan pengambil kebijakan. Namun, pengalaman 300 hari pemerintahan Prabowo--Gibran menunjukkan bahwa digitalisasi partisipasi tidak otomatis berarti demokrasi yang lebih sehat. Justru, pola baru sedang terbentuk: kebijakan publik menjadi semakin reaktif terhadap tren daring, sementara deliberasi mendalam ciri khas demokrasi substantif semakin tersisih.

Antara Partisipasi Virtual dan Realitas Kebijakan

Di atas kertas, angka penetrasi internet Indonesia memang mengesankan. Laporan We Are Social 2025 mencatat 79,5% penduduk Indonesia telah terhubung ke internet, dan 70% di antaranya aktif di media sosial. Ini berarti lebih dari 210 juta orang memiliki akses untuk bersuara di ruang digital.

Namun, siapa yang benar-benar memengaruhi arah kebijakan? Data Katadata Insight Center (2025) menunjukkan hanya sekitar 15% dari pengguna aktif media sosial yang konsisten terlibat dalam diskusi kebijakan, sementara sisanya lebih banyak terkonsentrasi pada isu-isu populer seperti hiburan dan gosip politik. Akibatnya, isu yang viral belum tentu isu yang substantif, tetapi justru isu yang paling mudah diperdebatkan secara emosional.

Ambil contoh kontroversi kebijakan "Sekolah Rakyat" yang digagas pemerintah. Tagar #SekolahRakyat sempat trending selama seminggu, dipenuhi dukungan dan kritik. Namun, di balik hingar-bingar digital itu, diskusi tentang integrasi kebijakan ini dengan sistem pendidikan nasional dan tumpang tindihnya dengan program kesetaraan di Sanggar Kegiatan Belajar (SKB) hampir tak terdengar. Kebijakan pun berjalan dalam tekanan opini daring, bukan analisis mendalam.

Fenomena ini diperparah oleh algoritma media sosial yang memprioritaskan keterlibatan (engagement) dibandingkan akurasi atau kedalaman informasi. Dalam kerangka ini, demokrasi digital menghadapi risiko besar: dominasi "minoritas berisik" yang memonopoli ruang wacana.

Ilusi Inklusivitas,  Siapa yang Tertinggal?

Digitalisasi juga membawa kesenjangan baru. Survei BPS (2024) mengungkap bahwa sekitar 35 juta penduduk Indonesia belum memiliki akses internet yang memadai, terutama di wilayah timur Indonesia. Ironisnya, kelompok inilah yang paling terdampak oleh kebijakan, tetapi suaranya paling jarang terdengar.

Kasus distribusi bantuan pangan digital pada awal 2025 menjadi contoh gamblang. Pemerintah meluncurkan aplikasi penyaluran berbasis QR untuk mempercepat distribusi, tetapi 27% rumah tangga di Nusa Tenggara Timur gagal mengakses bantuan karena keterbatasan perangkat dan jaringan. Isu ini nyaris tidak menjadi perbincangan viral karena mereka yang terdampak tidak memiliki ruang untuk bersuara di platform digital.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline