Lihat ke Halaman Asli

Samsul Bakri

Masih belajar menulis

Merayakan Hari Kartini dengan Menulis Gagasannya, Tidak Hanya Tampilan Fisiknya Saja

Diperbarui: 22 April 2022   23:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Adalah Raden Ajeng Kartini, tokoh yang dikenang akan gagasanya tentang perjuangan kesetaraan gender dan emansipasi wanita. Sebagai seorang feminist, banyak gagasan yang ia tuangkan relevan hingga hari ini. 

Dalam bukunya yang berjudul Habis Gelap Tertbitlah Terang, perjuangan Kartini dapat dirangkum dalam kalimat " Jika seorang wanita berpendidikan, dia akan lebih mampu mendidik anak-anaknya dan lebih mampu mengurus rumah tangganya, dan akan semakin maju bangsanya". 

Persepsinya mengenai peran pendidikan sebagai alat pengubah posisi perempuan dalam masyarakat kiranya sedikit melampau zaman. Sebab di masa itu, saya kesulitan menemukan sumber literasi berisi gagasan pendidikan bagi kaum wanita Indonesia selain dari tulisan Kartini. Barangkali karena ini juga orang-orang bijak bernasihat agar kita menulis, karena gagasan kita akan abadi, sampai jauh, jauh di kemudian hari dan takkan padam ditelan angin.

Pembaca sekalian yang sedang merayakan hari Kartini, dalam tulisan singkat ini, saya hendak membahas satu surat menyentuh dari R.A Kartini dan relevansinya dengan masalah perempuan di Indonesia saat ini. Sekiranya tafsir dari kalimat itu akan sangat bias dari sudut pandang saya. Jikalau saudara-saudari tidak sepaham dengan interpresatsi saya, maka anggap saja tulisan ini adalah cara saya merayakan hari Kartini.

Dalam buku Sulastin Trisno, Surat-surat Kartini : Renungan Tentang dan Untuk Bangsanya, R.A. Kartin menulis "Orang mencoba membohongi kami, bahwa tidak kawin itu, tidak hanya menjadi aib, melainkan dosa besar pula. Telah berulang kali itu dikatakan kepada kami. Aduhai! Dengan menghina sekali orang sering kali, membicarakan perempuan yang membujang!"[1]

Bagi saya, untaian kalimat itu tidaklah mungkin lahir jika kondisi sosial masyarakat tidak berperilaku demikian. Surat bernada kesal itu disebabkan pengalam pribadi Kartini yang dipaksa menikah di usia belia. 

Surat itu adalah kisah perlawanan Kartini sebagai perempuan terhadap 'tirani tradisi' yang memandang rendah perempuan sebagai jenis kelamin yang lebih lemah, yang diwariskan dalam sastra. 

Melalui suratnya itu, Kartini menyuarakan keprihatinannya terhadap kondisi perempuan yang tertinggal dalam aspek budaya perkawinan yang cenderung merugikan.

Banyak penelitian ilmuwan sosial dan alam telah membuktikan bahwa pernikahan di usia muda merugikan perempuan. Pendidikan menjadi tidak bermfaat bagi perempuan bagi yang telah menikah. 

Perempuan diberi beban penuh untuk mengurus rumah tangga dan merawat anak. Maka konsekuensi yang wajar jika angka putus sekolah akan tinggi pada perempuan yang sudah menikah. Pernikahan dini adalah gangguan bagi masa depan gadis-gadis muda, secara pendidikan, sosial dan ekonomi. 

Perempuan yang menikah di usia remaja, dia tidak akan menemukan waktu untuk bersosialisasi dengan orang lain atau pergi ke sekolah. Gadis yang menikah di usia dini akan menderita kemiskinan dan kebodohan. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline