Lihat ke Halaman Asli

Samdy Saragih

Pembaca Sejarah

Luka Temanggung

Diperbarui: 26 Juni 2015   08:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Seorang pria berumur 40-an masuk ke dalam kelas. Saya tidak mengerti apa tujuannya. Setelah mengucapakan salam kepada seisi kelas, dia mulai menjelaskan ihwal kedatangannya.

Jelas saja, dalam kelas SMP yang boleh dikata jauh dari pusat kota, kedatangan orang asing membuat saya penasaran. Apalagi si pria itu berbicara dengan logat Jawa pula. Selang berapa lama setelah perkenalan nama yang cukup hangat diapun menjelaskan asalnya: Temanggung! Dari sinilah saya pertama kali mendengar nama itu.

Saya tidak pernah mendengar daerah itu meskipun boleh dikata pelajaran geografi cukup saya kuasai. Entah sadar karena kami kebingungan, dia pun memberi petunjuk di mana letaknya. "Dekat Borobudur", katanya. Tentu saja saya tahu, Borobudur berada di Kabupaten Megelang. Berarti Temanggung adalah tetangganya.

Membayangkan Magelang, Jawa, dan Borobudur menimbulkan kesan posistif bagi saya. Di Magelang terdapat sebuah daerah yang mayoritas penduduknya beragama Katolik―satu-satunya di Pulau Jawa―bernama Muntilan. Tentu saja karena dulu misionaris menjadikannya sebagai basis penyebaran agama Katolik di Pulau Jawa. Dari Muntilan inilah uskup-uskup Katolik pribumi dididik seperti Soegiopranata yang kelak menjadi Uskup Semarang. Di situ pula Pastor Van Lith yang bernah berdiskusi tentang ke-Katolikan kepada Bung Karno mendarmabaktikan hidupnya.

Ditambah sebagai daerah "abangan" tentu saja pergulatan intens antar pemeluk agama tidak menimbulkan gesekan berarti. Dengan Borobudur sebagai Candi Budha terbesar di dunia, Magelang sudah menunjukkan betapa ketiga agama besar bisa hidup dalam harmoni.

Dengan faktor di atas wajar apabila Temanggung juga seperti tetangganya itu. Bagaimanapun, tak mungkin sebuah wilayah yang terpisah hanya oleh garis seukuran pematang sawah bisa memiliki watak yang bertolak belakang. Jika Magelang dianggap sebagai pusat, maka daerah lainnya harus menjadi refleksi.

Namun, kenyataannya tidaklah demikian. Temanggung ternyata mampu dijadikan sarang teroris dalam tahun-tahun belakangan ini. Temanggung seolah ramah menerima ideologi-ideologi yang mengajarkan kebencian pada segala macam perbedaan. Maka tak heran, Noordin M Top beserta jaringan-jaringannya pernah tinggal di sana. Mereka melakukan perekrutan atas penduduk sekitar hingga menghasilkan "bom" manusia yang rela melakukan apa pun demi "membela" Tuhan.

Tapi tidak hanya itu. Hari ini, kita menyaksikan peristiwa yang lebih kelam lagi di Temanggung. Gereja diserang, dibakar oleh para pembela Tuhan. Para pelaku adalah orang yang tidak puas karena pengadilan dunia hanya menghukum ringan seorang penghina agama. Mereka frustasi, karena di dalam kepala mereka para penghina Tuhan dan Nabi, hukuman kurungan belumlah berarti. Darah para pencela itu halal untuk ditumpahkan ke tanah.

Peristiwa Temanggung mirip dengan kisah berdarah 15 tahun lalu di situbondo. Massa juga tersulut amarahnya hanya karena masalah sepele dan dalam tempo singkat membakar gereja-gereja dan membunuh beberapa di antaranya.

Namun saat itu bangsa ini masih punya Gus Dur. Dia turun langsung ke lapangan meninjau lokasi karena memang daerah tersebut basis organisasi pimpinannya, NU. Kini, kita tidak punya lagi sosok itu. Di saat kita butuh pemimpin yang dipercaya, tidak ada yang datang. Mereka hanya sibuk intruksi sana-sini yang seakan tak peduli pada nasib warganya.

Kita tahu, telah terjadi pelanggaran konstitusi. Tidak hanya di Temnggung, juga Pandeglang. Tempat di mana 3 orang "sesat" menjemput maut. Di negeri yang konstitusinya jelas menyatakan memberi perlindungan tanpa pandang bulu.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline