Lihat ke Halaman Asli

Hr. Hairil

Menulis itu kebutuhan, bukan hiburan.

Aisyah dan Secangkir Rindu

Diperbarui: 15 November 2017   13:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

"Aku tak mungkin menangisi nasibku ditengah kegelapan seperti ini" Kata Aisyah, sambil sibukkan matanya mencarita tempat untuk dirinya rebah sebentar. 

Peraduan yang mana bulankan berpulang;- seratus fajar dalam kalender dinding masih mematung. Ini waktu subuh, jutaan orang bahkan Asyik bercengkerama dengan doa mereka. 

Menunggu siapa gerangan yang bijak tempat keluhkan rindu yang sudah dipendam, dan yang maha luas menyapa dengan semangat sedikit riuh ditelinga. Oh seratus fajar, berpulanghlah pada peraduan nyata.

Gelisah pada bayang-bayang samar, takut dibentak dengan nada dingin angin sepoi-sepoi pagi ini, itulah diri seorang Aisyah.  kesehariannya diisi dengan tangis rindu, tapi hanya pada malam dia kembali merayu bulan. Tentang fajar, matahari,  angin pagi dan daun-daun kering yang basah.

"Oh sepi, sedikit saja kau beri aku waktu, aku kan gantikan semua dengan senyum terakhirku" suara Aisyah melemah, berbisik memeluk kedua lutut di tengah kesunyian. 

Jaritannya mankin pada bau kasur bekas dan kegelapan rumah tua" Tidakkah kalian mendengarku, dengarlah keluh tangis tak berbatas ini, sebab hanya pada kalianlah semua ini bermuara. Aku tak meminta kalian mendengarku dengan telinga, sebab aku hanya membutuhkan bijak dan dingin seperti angin waktu pagi?"

Entah pada siapa lagi akan diutarakan sedikit rindu yang sudah meluap ini. rindu yang sedang buta, seakan mati tanpa ada musabab apa-apa. Tetapi jika langit memerah kembali.  

Aisyah berjanji akan di bakar rindu, merusak sisi kesabaran,  mengusik ketenangan di batin tanpa harus kita tahu. Dengan setengah menghardik Aisyah pada yang bijak, keluhkan ini diam-diam ditutur pada daun yang melambai.

Seratus fajar masih tak juga kabarkan Aisyah tentang rindu yang dingin, dirinya menunggu itu pada matahari,  sesering dia tengadahkan wajah ke ufuk timur;-disanalah seratus fajar bermula. 

Sambil menaruh harap sang matahari kala sore hari akan kembali pada peraduan melintasi diatas kepalany yang sudah serasa pecah itu. 

Apa mungkin kejauhan dan sang jarak yang menentukan kapan harus datang berita yang aduhai manis itu, atau Aisyah sempat bersalah sangka kalau sang maha malam terlalu berburu-buru memanggil matahari dengan lirih yang riuh. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline