Aisyah benar-banar lupa, dari kejauhan kata tidaklah lagi bermakna fajar. Bisa saja penaggalan rupa sisi yang begitu ranum menakuti jantung lemah ini.Â
"oh seratus fajar" lirih Aisyah, bibirnya gemetar kedinginan
Walau begitu, gelas kerinduan ini masihkah selalu tak berisi. Bahkan bersungut wajah tak malu pada sesiapa yang tidak pernah merasakan rindu. Dirumah tua itu, tak ada sesiapapun. Hanya dirinya dan beberapa lembar catatan perjalanan dia kedesa sebelah pekan lalu
Pernah mengelak saat disiram air hujan yang tidak begitu ikhlas, Â yang adalah kedinginan seakan tulang ikut memohon ampun. Itu yang dirasakan Aisyah malam ini.Â
Padahal hanya soal rindu yang pada mereka bukan apa-apa. Pagi ini masih sedikit basah berselimut kabut karena semalam begitu deras titik-titik air itu.Â
"Tapi aku juga tak mau menyulap ibaku menjadi malapetaka" Perlahan dan sangat sepi, bisik Aisyah pada malam.Â
ini soal gelas rindu Aisyah yang masih kosongnya. Seakan menunggu lebih lama lagi tentang fajar dengan satu tempayan madu yang ditenteng melintasi luas samudra. Â
Sedalam prahara sudah tak elak digelisahkan, disini Aisyah hanya ingin meneguk anggur rindu dalam bingkai yang lebih utuh. Seutuh danau, samudra, Â dan bahkan seutuh rasa yang tidak siapapun bisa tahu.
"Uh.. biarkan saja begini, mengadu juga tak dapat membawa makna" Aisyah memeluk erat kedua tangannya yang dilipat merangkul lutut.Â
Dia biarkan harap menjadi konflik dan trauma jika semua sudah bebas mengalir dari dada. Sekalipun rindu menjadi kontroversi dengan peraduan matahari pada sesungguhnya. Â Aisyah tak mengapa dan menggap khilaf dari jiwa yang terlalu rapuh adalah dirinya.Â
Hanya dari simpang jalan tempat Aisyah berpangku sang rindu ini, dia tak sempat bayangkan seratus fajar terlalu pelit membagi senyum.