Lihat ke Halaman Asli

Muhammad Saddam Haikal

Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UNJ

Media Sosial Mengubah Kita Menjadi Anjing

Diperbarui: 4 Mei 2022   13:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Anjing (Foto oleh Helena Lopes dari Pexels)

Kita—saya dan kamu—diciptakan oleh Tuhan sebagai seorang manusia. Ma, nu, si, dan a. Kita memiliki kebebasan untuk memilih setiap tindakan dan pemikiran kita terhadap diri sendiri, lingkungan, dan orang lain. Akan tetapi, kebebasan yang seharusnya kita dapatkan tersebut seakan seperti tergeser oleh satu faktor lagi yang beberapa dekade terakhir ingin meng-skandal-kan hidup kita, yaitu media sosial.

Coba tanyakan pada setiap pengguna jalan atau orang dewasa yang berada dekat dengan kamu sekarang. Tanyakan apakah mereka memiliki akun di Instagram, TikTok, atau Facebook. (Bagaimana dengan YouTube? Kita akan bahas di kesempatan selanjutnya). 

Hampir sebagian dari orang yang kamu tanyakan akan menganggukkan kepala sebagai tanda bahwa mereka memiliki setidaknya satu akun media sosial. Singkatnya, manusia modern saat ini menggantungkan hidup mereka pada benda digital itu—papan, pangan, sandang, media sosial.

Jika kita ingin melakukan penyelidikan lebih lanjut, beberapa orang di media sosial hanya berperan sebagai penonton, pemirsa, dan saksi dari segelintir informasi yang sebenarnya tidak mereka perlukan. Mata mereka tak pernah bosan melihat segala macam gambar, tulisan, dan video, termasuk jari jempol mereka yang tidak pernah lelah menggeser layar dari bawah ke atas. Pertanyaannya, sampai kapan kita (manusia) ingin seperti ini?

Fenomena semacam ini dapat merenggut kebebasan kita sebagai manusia, yaitu kebebasan untuk tidak terpengaruh dengan hal-hal yang tidak penting. Kita lama-kelamaan semakin terkekang dan terpenjara dengan benda digital yang setiap hari kita gunakan. 

Ini adalah bencana—sangat besar. Ketika kita terus-menerus memasang mata dan mengisi otak kita pada informasi yang tidak penting, kita menjadi seperti anjing. Ya, kita terjebak dalam siklus "anjing dan majikan" yang tidak pernah kita sadari. Kasarnya, kita adalah anjing; perhatian kita adalah camilan anjing; media sosial adalah peluit; dan perusahaan media sosial adalah majikan.

Coba kita lihat perilaku anjing yang paling lazim. Mereka akan segera menghampiri majikannya ketika mendengar peluit. Anjing tidak segan untuk segera berlari demi mendapatkan camilan makanan. Dalam teori behaviorisme, perilaku anjing seperti ini dinyatakan secara lebih jelas. Sekarang, coba kita gunakan analogi tadi dengan kehidupan digital kita yang tidak sehat. 

Pada kehidupan digital, kita adalah anjing yang senantiasa menunggu peluit (media sosial/notifikasi) dibunyikan. Ketika peluit berbunyi, kita langsung menghampirinya karena kita mengetahui bahwa ada sesuatu yang menyenangkan di sana (seperti gosip, kehidupan teman, artis, idola, dan sebagainya). 

Ketika kita terus-menerus melakukan perilaku ini, sang majikan (perusahaan media sosial) mendapat kepuasan tersendiri, yaitu uang. Mereka menjual perhatian kita demi meraup kekayaan sebanyak-banyaknya. Mereka dengan pintarnya melakukan itu tanpa pernah kita sadari, selayaknya anjing yang selalu patuh dengan panggilan peluit.

Pernyataan di atas adalah satu dari sekian banyak kesadaran yang belum atau tidak pernah kita sadari sebagai pengguna media sosial. Ketika kita mencandu kehidupan scrolling yang tidak sehat dan adiktif, kita telah berubah menjadi anjing. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline