Lihat ke Halaman Asli

Kasus di Dalam Masyarakat Dikaji dengan Paradigma Positivisme

Diperbarui: 24 September 2023   23:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Sadam Agusti Dwi Ardiyan (212111099)

Mahasiswa Prodi Hukum Ekonomi Syariah

UIN Raden Mas Said Surakarta 

Sebagai suatu ilmu pengetahuan sosial,illmu hukum mempunyai beberapa karakteristik yang menarik. Ilmu hukum termasuk ke ilmu sosial, yang mana ilmu sosial dalam paradigma positivisme adalah manusia sebagai benda mati. Dimana pengaruh positivisme dalam ilmu hukum sebagai suatu acuan tertulis nomor satu yang tak tergantikan , yang bisa menyampingkan moral dan hati nurani. Ilmu hukum memiliki karakteristik spesialistis, sistematis, logik,rasional, prosedural dan lain sebagainya. 

Dan bentuk realitanya dinegara ini pengguanaan paradigma postivisme menyebabkan beberapa hambatan atau problematika dalam masyarakat. Karena memang di paradigma positivisme lebih ke logika dan berpanutan pada aturan yang tertulis jadi dari segi moral atau rasa nurani di kesampingkan. Padahal dalam setiap insan manusia memiliki hati nurani dan moral masing masing yang tidak dapat dihilangkan secara otomatis. Oleh sebab itu banyak masyarakat yang berspekulasi bahwa paradigma ini tidak cocok untuk orang yang mengedepankan hati nurani dan bisa juga dikatakan tidak ada keadilan, walaupun memang keadilan secara nyata itu tidak benar-benar ada. Padahal hukum diciptakan untuk menegakan keadilan,jadi dalam hal ini hukum terlihat lucu atau melenceng dari tugasnya.

seperti yang terjadi pada kasus nenek penjual kayu jati Asyani(63) yang terseret dipengadilan jawa timur dengan tuduhan mencuri 38 papan kayu jati dilahan perhutani situbondo. Dia didakwa dengan Pasal 12 huruf d juncto Pasal 83 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan dengan ancaman hukuman penjara 5 tahun. Asyani dituduh mencuri 38 papan kayu jati di lahan Perhutani di desa setempat. Yang tadi sudah mau dijual kepada seorang pengrajin kayu jati di desanya.
   Dalam tanggapannya, jaksa Ida Haryani menuturkan pihaknya memiliki bukti-bukti kuat bahwa 38 papan kayu itu memang diambil Asyani di lahan Perhutani. "Terdakwa tidak mampu menunjukkan dokumen kepemilikan kayu tersebut,". Sikap jaksa itu, yang dinilainya terlalu formalistis dalam menangani kasus tersebut. Padahal faktanya, kayu jati itu ditebang dari lahan milik Asyani yang telah dijual pada 2010. "Ada surat keterangan kepala desa kalau lahan tersebut dulunya milik Asyani,". padahal asyani juga memohon ampun berulang kali  kepada majelis hakim, menurut dia kayu jati tersebut peninggalan dari suaminya yang telah meninggal. Dan sudah sering kali menjual kayu jati dengan almarhum suaminya tersebut.

jika dilihat dari paradigma positivisme memang nenek asyani melanggar Pasal 12 huruf d juncto Pasal 83 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013, sesuai dengan karakteristik positivisme, tapi jika dilihat kebelakang dengan pernyataan, alasan dan keadaan nenek asyani mungkin bisa menjadi pertimbangan kembali oleh majelis hakim.

dari contoh kasus di atas juga dapat di simpulkan jika hukum tajam kebawah dan tumpul keatas, memang dalam memutuskan sesuatu terkadang penting juga mempertimbangkannya dengan moral dan rasa nurani.
pesan penulis" pintar-pintarlah dalam menentukan pilihan karena setiap pilihan ada resiko."




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline